

SAREKATRAKYAT.COM- Indonesia tengah digulung badai krisis ketenagakerjaan yang belum pernah sebrutal ini dalam satu dekade terakhir. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal tak pandang bulu, meluluhlantakkan ribuan nyawa pekerja dari pabrik, kantor media, startup teknologi, hingga e-commerce raksasa. Mereka tak hanya kehilangan pekerjaan, tapi mereka kehilangan harapan. Sementara pemerintah sibuk berakrobat dengan angka-angka manis pertumbuhan ekonomi, jutaan rakyat perlahan tenggelam dalam kenyataan pahit yang mereka coba sembunyikan.
Lihat saja TikTok Shop, simbol modernisasi dan investasi asing, kini menjelma menjadi algojo yang akan mengeksekusi 2.500 pekerja. Dalihnya klasik: efisiensi. Merger dengan Tokopedia bukan menghadirkan peluang, tapi menciptakan kuburan massal bagi mereka yang sebelumnya menjadi nadi perusahaan. Di balik retorika korporat tentang “sinergi” dan “penyederhanaan struktur,” tersimpan ribuan kisah pilu yang tak mendapat tempat dalam konferensi pers.
Namun ini baru permulaan. Yamaha Music merumahkan 1.100 pekerja, pabrik Nike tutup, dan Sritex, salah satu raksasa tekstil Tanah Air resmi dipailitkan, memaksa 11.000 lebih buruh menerima nasib di tengah inflasi yang menggila. Pemerintah? Dengan enteng menyebut kenaikan indeks PMI menjadi 53 seolah itu mampu membayar sewa kontrakan atau menyekolahkan anak para korban PHK. Sementara Presiden dan para menteri berbicara soal “lapangan kerja baru”, rakyat bertanya: lapangan kerja untuk siapa?
Ironi semakin lengkap saat data Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) menunjukkan lonjakan mengerikan: 13.210 klaim per bulan pada tahun 2025 nyaris empat kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah angka-angka yang mewakili jutaan piring kosong di meja makan rakyat kecil.
Di negara lain, ledakan PHK ditanggapi dengan intervensi serius. Di sini? Buruh dibiarkan berkubang dalam ketidakpastian, hanya ditemani janji manis tanpa arah. Ketua DPR Puan Maharani terpaksa angkat suara, menyerukan pemerintah agar tak berpangku tangan. Tapi suara parlemen saja tak cukup. Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mengancam aksi mogok nasional jika dalam 30 hari tak ada tindakan nyata. Bukan gertakan kosong. Mereka membawa lima tuntutan yang bisa menjadi peluit awal pemberontakan: basmi impor ilegal, revisi regulasi yang menjerat industri, lindungi korban PHK, ciptakan lapangan kerja riil, dan tegakkan keadilan ekonomi.
Restrukturisasi dan efisiensi telah menjadi nama lain dari pengusiran massal. Kapital menggigit dan negara membisu. Pemerintah harus menentukan: berpihak pada rakyat atau menjadi pelayan korporasi. Sementara itu, para buruh, jurnalis, tenaga medis, dan pekerja digital hidup dalam teror kehilangan pekerjaan tanpa jaring pengaman, tanpa kepastian.
Dan ketika rakyat menderita, pemerintah masih sibuk menyusun presentasi. Mereka bangga dengan neraca, inflasi yang “terkendali”, dan pertumbuhan yang katanya “inklusif.” Tapi di balik itu, upah ditahan, kontrak diputus, dan keluarga pekerja kehilangan nafkah.
Saatnya rakyat bicara. Negara ini tak dibangun di atas janji korporat. Jika suara buruh terus diabaikan, dan pengusaha terus dijadikan raja, maka negeri ini sedang menuju kehancuran yang disponsori oleh kekuasaan. Jika kita tak bergerak sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi?
Sumber: CNBC Indonesia, (Ribuan Karyawan Terancam PHK Bulan Juni, Ratusan Persahaan Kena); CNBC Indonesia, “(PHK Massal Hantam RI, Istana Beri Respons Tak Terduga-Tunjuk Data Ini)”; SindoNews, “(Gelombang PHK Massal di Indonesia Belum Usai, Tik-Tok Shop bakal Pecat 2.500 Karyawan)”; Tempo, “(Rangkaian Gelombang PHK sejak awal 2025: Media Massa hingga Sektor Manufaktur)”.
Type above and press Enter to search.
Type above and press Enter to search.