SAREKATRAKYAT.COM – Dalam program Real Talk di kanal YouTube IDN Times pada 10 Juni 2025, Menteri Kebudayaan Fadli Zon memicu kontroversi setelah menyatakan bahwa tidak ada bukti pemerkosaan massal dalam Peristiwa Kerusuhan Mei 1998. “Pemerkosaan massal kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan, ada enggak didalam buku sejarah itu?” kata Fadli dalam wawancara yang ditayangkan pada Rabu,11 Juni 2025.

Pernyataan ini sontak memantik polemik. Gelombang protes datang dari masyarakat sipil,aktivis hak asasi manusia, hingga para pendamping korban. Ketua Komnas HAM,Anis Hidayah, menegaskan bahwa pernyataan tersebut bertentangan dengan fakta hukum dan sejarah. Ia menyebutkan bahwa Komnas HAM melalui Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat telah melakukan penyelidikan terhadap Peristiwa Kerusuhan 13–15 Mei 1998, berdasarkan mandat Undang-Undang Nomor 26Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Tim Ad Hoc yang dibentuk pada Maret 2003 itu menyelesaikan penyelidikan pada September di tahun yang sama. Berdasarkan hasilnya, Komnas HAM menyatakan bahwa kerusuhan tersebut merupakan bentuk Pelanggaran HAM yang Berat, yakni kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000.

Mengacu pada laporan TEMPO, bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi meliputi pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pemerkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya, serta persekusi. Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikannya kepada Jaksa Agung melalui surat nomor 197/TUA/IX/2003 pada 19 September 2003.

Langkah pengakuan atas pelanggaran HAM ini turut ditegaskan kembali oleh negara melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 yang membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat (Tim PPHAM). Setelah menerima Laporan Akhir dari Tim tersebut, pada 11 Januari 2023 Presiden Joko Widodo secara resmi mengakui bahwa Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, bersama dengan 11 peristiwa lainnya, merupakan pelanggaran HAM berat.

Tidak berhenti di situ, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat pada 15 Maret 2023. Kemudian, pada 11 Desember 2023, keluarga korban Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 mulai mendapatkan layanan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Pernyataan Fadli Zon menuai respons keras dari berbagai kalangan, termasuk dari ratusan kelompok masyarakat sipil seperti Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI)dan Koalisi Perempuan Indonesia. Mereka mendesak Fadli Zon untuk meminta maaf kepada para korban perkosaan massal dalam tragedi Mei 1998.

Salah satu tokoh yang paling vokal menyuarakan penolakan terhadap pernyataan Fadli adalah Ita Fatia Nadia, pendamping korban kekerasan seksual dalam kerusuhan tersebut dan salah satu pentolan AKSI. Ita dikenal sebagai anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang bekerja sejak awal dalam tragedi Mei 1998.

Namun setelah menyuarakan penolakannya secara terbuka, Ita mulai mendapat teror. Menurut laporan TEMPO, ancaman pertama ia terima pada Jumat malam, 13 Juni 2025, hanya beberapa jam setelah ia menjadi pembicara dalam konferensi pers Koalisi Perempuan Indonesia bersama aktivis HAM dan feminis Kamala Chandra Kirana, Guru Besar Fakultas Hukum UI Sulistyowati Irianto, dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

Dalam jumpa pers itu, Ita menyatakan bahwa pernyataan Fadli Zon merupakan bentuk kebohongan publik. “Pemerkosaan itu fakta sejarah, bukan rumor,” tegas Ita. Ia juga membantah pernyataan Fadli yang menyebut bahwa Komnas Perempuan tidak lahir dari keputusan resmi negara. Faktanya, Komnas Perempuan dibentuk berdasarkan keputusan Presiden B.J. Habibie.

Ancaman terhadap Ita datang melalui sambungan telepon. Penelepon pertama menyebut dirinya “antek Cina” karena berbicara soal pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa dan menyebut “siapa bilang Prabowo terlibat.” Keesokan paginya, pada Sabtu, 14 Juni, Ita kembali mendapat teror dari nomor yang sama. Kali ini, ancaman disampaikan dengan nada lebih tenang namun mengintimidasi: “Mulut muminta dibungkam selamanya.”

Teror kembali berlanjut pada Senin, 16 Juni, kali ini dari nomor yang tak terdeteksi. Ancaman ini memaksa Ita untuk sementara waktu menarik diri dari sorotan publik dan menolak wawancara media. “Saya istirahat dulu, memilih selamatkan keluarga,” katanya kepada Tempo.

Kejadian ini menambah daftar panjang intimidasi terhadap para pembela hak asasi manusia dan menguatkan desakan agar negara segera bertindak untuk memberikan perlindungan, serta memastikan agar kebenaran sejarah tidak diingkari oleh pejabat publik. (SR/ASM)

 

Sumber:

TEMPO.co, Komnas HAM: Pernyataan Fadli Zon soal Tak Ada Pemerkosaan Massal 1998 Keliru.

TEMPO.co, Pendamping Korban Tragedi Pemerkosaan Massal 1998 Diteror. 

Share this article
The link has been copied!