Bedah Buku - Pelaksanaan bedah buku Kronik Otoritarianisme Indonesia di UGM mengungkap bagaimana negara membelokkan sejarah demi kekuasaan. Grafis: istimewa

SAREKATRAKYAT.COM — Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM menyelenggarakan bedah buku Kronik Otoritarianisme Indonesia pada Kamis, 19 Juni 2025 di Auditorium B Fakultas Hukum UGM. Acara yang berlangsung sejak pukul 13.30 WIB hingga 16.30 WIB ini menghadirkan dua penulis buku, yakni pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar, dan sejarawan sekaligus pengarsip independen, Muhidin M. Dahlan. Hadir pula sebagai penanggap, Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, Amalinda Savirani.

Dalam paparannya, Zainal Arifin Mochtar mengungkapkan bahwa naskah awal buku ini merupakan kumpulan pemikiran setebal sekitar 100 halaman yang didasarkan pada kajian hukum tata negara dan sumber-sumber sejarah. Ia menyoroti bagaimana negara sering kali mereduksi dan membelokkan sejarah demi kepentingan kekuasaan. Bagi Zainal, sejarah tidak boleh dimonopoli atau dimistifikasi oleh negara, sebagaimana kerap terjadi pada figur-figur pemimpin nasional. Mistifikasi ini, lanjutnya, menjadi cara ampuh untuk memperkuat legitimasi kuasa.

Zainal mencontohkan bagaimana narasi sejarah Indonesia selama 30 tahun Orde Baru banyak dipengaruhi oleh versi resmi negara, salah satunya melalui karya Nugroho Notosusanto. Ia menekankan pentingnya menghadirkan sejarah secara utuh, tanpa manipulasi ataupun intervensi ideologis kekuasaan.

Senada dengan Zainal, Muhidin M. Dahlan menekankan pentingnya media cetak, khususnya koran, sebagai sumber sejarah alternatif yang tak bisa sepenuhnya dikendalikan oleh negara. “Jika pemerintah ingin menghancurkan sejarah, dia harus menghancurkan semua koran. Tapi itu mustahil,” ujarnya. Menurut Muhidin, sejarah pergerakan nasional Indonesia berjalan seiring dengan sejarah percetakan. Maka dari itu, ia lebih memilih kliping koran sebagai bahan utama kajian sejarah ketimbang dokumen resmi negara yang bersifat tertutup dan terpusat.

Muhidin menambahkan bahwa banyak peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang tidak diangkat dari sudut pandang yang mengungkap akar persoalan. Salah satunya adalah pemberontakan PRRI/Permesta, yang menurutnya berakar pada persoalan korupsi—sebuah aspek yang sering luput dari narasi sejarah arus utama. Dengan pendekatan dokumentasi koran, Muhidin mampu menyingkap detail-detail pentingyang selama ini tersembunyi.

Bedah buku ini juga menjadi ruang refleksi atas perjalanan demokrasi Indonesia. Menurut Zainal, buku ini merekam enam periode penting jatuh bangunnya institusi demokrasi di Indonesia. Namun, yang menjadi sorotan utama adalah pengulangan sejarah—terutama menguatnya kembali militerisme dan ancaman terhadap kebebasan sipil. “Banyak tanda-tanda pengulangan Orde Baru: dari UU TNI, UU Ormas, UUITE, hingga represi terhadap kebebasan berpendapat,” tegasnya.

Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan, Amalinda Savirani, dalam tanggapannya menyatakan bahwa buku ini penting karena merekam perjalanan bangsa dalam membangun demokrasi—dengan segala jatuh bangunnya. Ia menggarisbawahi tiga halpokok dari buku ini: pertama, bagaimana bangsa ini membangun institusi demokrasi meskipun seringkali gagal; kedua, kecenderungan sejarah yang terus berulang, terutama dengan menguatnya kembali militerisme seperti masa Orde Baru; dan ketiga, pola yang terus berulang dalam ancaman dan perjuangan membangun institusi demokrasi.

“Melalui buku ini, kita melihat bagaimana peran tentara dalam politik terus hadir dari masa ke masa. Ini serius bahayanya,” ujar Amalinda.

Ia juga mengangkat pertanyaan-pertanyaan kritis yang perlu diajukan dalam membaca dinamika demokrasi hari ini, seperti: mengapa kita masuk kembali dalam era militerisme? Mengapa institusi demokrasi dibajak oleh elite? Dalam pandangannya, yang tengah terjadi adalah bentuk competitiveauthoritarianism, di mana elite saling berkompetisi membajak demokrasi—suatu gejala yang juga terjadi di banyak negara lain.

Meski demikian, Amalinda juga menyoroti adanya peluang dari kebangkitan gerakan masyarakat sipil, terutama anak-anak muda yang sudah tidak lagi percaya pada elite politik, tetapi mulai membangun inisiatif warga secara mandiri. “Indonesia ingin membangun demokrasi, tapi tak pernah bertanya mengapa demokrasi itu penting. Yang harus ditanyakan: kenapa kita gagal, dan apa penyebabnya? Saya selalu kembali ke situ,” tegasnya.

Bedah buku ini tidak hanya menjadi ruang ilmiah, namun juga panggilan untuk membaca ulang sejarah secara kritis dan menelaah tantangan nyata demokrasi Indonesia agar tak terus-menerus tersandera oleh pengulangan masa lalu. (SR/ASM)

Share this article
The link has been copied!