

PENULIS: Rahmat Mokodompit, Aktivis Mahasiswa Tinggal di Gorontalo
BEBERAPA waktu lalu, saya baru saja mengambil keputusan yang cukup berat: memilih untuk membeli buku atau mengakhiri kelaparan. Meski sebenarnya aktivitas memilih untuk kenyang atau membeli buku bukan hal baru dalam kehidupan saya, tapi tetap saja dilema akhir bulan selalu melanda umat manusia untuk memilih. Akhirnya, saya tetap memilih buku. Keputusan membeli buku bukan tanpa alasan. Karena saya selalu yakin bahwa pertolongan selalu datang dari mana saja, seperti kisah Mesias yang turun bagi manusia untuk memberi sepotong roti.
Saat saya memutuskan membeli buku yang ditulis oleh George Orwell, judulnya 1984, sebenarnya bukan judul ini yang diincar, tapi tulisan yang judulnya Animal Fram. Konon katanya novel ini punya kecocokan dengan kondisi Indonesia karena punya pemimpin dari kelas bawah tapi menindas saat berkuasa. Ya.. sepintas juga mirip dengan analisis kelasnya Marx tentang diktator proletariat, tapi kemungkinan juga tidak karena sejak kapan ada revolusi kelas di Indonesia?
Balik ke cerita George Orwell 1984. Semula saya tidak begitu tertarik dengan buku ini karena sampul bagian belakangnya hanya memberikan informasi soal perlawanan tokoh utama terhadap partai-partai diktator. Oh iya, sebelum dilanjutkan saya hanya ingin bilang bahwa kebiasaan setiap membeli buku adalah selalu melihat sampul paling belakang untuk informasi awal saja.
Baik, kita lanjutkan. Meski awalnya saya tidak begitu tertarik, tapi lembar demi lembar tulisan ini mulai seirama dengan berita yang muncul soal penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan Indonesia.
Proyek penulisan sejarah Indonesia sebenarnya sudah sempat disinggung oleh Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan. Saat itu, dia menyampaikan terkait wacana revisi sejarah Indonesia tepat saat menghadiri musyawarah nasional Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) 2024. Menurutnya, sejarah Indonesia akan diperbaharui menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia.
Memasuki awal 2025, proyek revisi sejarah ini mulai diseriusi dengan membentuk semacam satuan tim yang terdiri dari berbagai sejarawan. Lebih lanjut, menurut Fadli Zon, naskah sejarah resmi Indonesia akan diuji publik sebelum diterbitakn secara resmi.
Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia kemudian menjadi perbincangan serius dalam ruang publik, dengan reaksi dan kritik, menjelaskan bahwa penulisan ulang sejarah adalah praktik yang sering terjadi dalam negara-negara otoriter. Tidak hanya itu, beberapa waktu lalu di pagi-pagi buta, saya membaca berita, waktu itu menjelaskan pernyataan Menteri Kebudayaan. Menurutnya, penulisan sejarah Indonesia seharusnya menggunakan tone positif. Bukan tanpa sebab, hal ini dilakukan karena dianggap sebagai upaya untuk tidak mencari-cari kesalahan yang pernah terjadi di masa lalu.
Paling menarik menurut saya adalah, Fadli Zon mengatakan dalam proyek penulisan ulang sejarah lebih mengedepankan prestasi-prestasi dan pencapaian di masa. Untuk itu, kepentingan ini dimaksudkan agar mempersatukan bangsa. Sontak, pernyataan ini menimbulkan ketakutan yang bisa saja menjadi bias politik. Ungkapan seperti tone positif dapat mengarah pada agenda penghapusan kebenaran sejarah yang dianggap dosa besar pada rezim terdahulu, terkhusus pada peristiwa pelanggaran HAM berat. Apalagi upaya penonjolan prestasi dan pencapaian tentu bisa saja dianggap politis karena akan mengarah pada subjektifitas narasi.
Kekonyolan berikutnya adalah ketika Kementerian Hak Asasi Menusia juga ikut mengapresiasi proyek penulisan sejarah dengan tone postif. Padahal, lagi-lagi narasi kekuasaan semacam ini berpotensi menimbulkan subjektifitas dan pengabaian atas peristiwa-peristiwa kelam yang pernah terjadi sebelumnya, seperti pelanggaran hak asasi manusia yang masih tercatat dan belum dituntaskan hingga saat ini.
Catatan berikutnya yang perlu disampaikan adalah Fadli Zon tidak benar-benar membaca dengan baik sejarah Indonesia, atau mungkin orang ini menjadi semacam tokoh Winston dalam novel George Orwell, 1984. Anggapan ini bukan tanpa dasar, karena baru-baru ini Fadli Zon bilang bahwa peristiwa pemerkosaan yang terjadi tahun 1998 adalah cerita rumor dan tanpa bukti. Sebetulnya saya tidak akan menjelaskan panjang lebar terkait peristiwa pemerkosaan di tahun 1998 karena persitiwa ini sebelumnya sudah diakui oleh negara, dan menjadi catatan penting untuk selalu diingat oleh negara dan masyarakat. Akhirnya, kenapa saya tidak membahas soal ini lebih lanjut karena saya terlanjur curiga kepada Fadli Zon yang sepertinya telah dipreteli oleh sosok Big Brother (Tokoh Otoriter Dalam Novel 1984).
Novel Goeorge Orwell (1984) Sebuah Refleksi Atas Penulisan Ulang Sejarah Resmi Indonesia
Mari kita mulai cerita menyebalkan ini dengan sedikit menceritakan kembali buku George Orwell, 1984, tentang Winston, partai, dan Big Brother si penguasa tiran. Saya harus mengakui bahwa novel ini lebih dari sekadar fiksi. Cerita-cerita yang dituliskan begitu menggambarkan kenyataan, seperti bagaimana kekuasaan absolut dapat membentuk realitas, menghapus masa lalu, dan mengendalikan pikiran manusia
George Orwell melalui novelnya yang berjudul 1984 bagi saya tidak hanya menghadirkan sebuah karya dengan nuansa menggugah secara narasi, tapi lebih dari itu, Orwell dalam tulisannya mampu menggetarkan ideologi para pembacanya. Novel ini juga mampu menjadi semacam ramalan gelap tentang masa depan masyarakat di bawah kekuasaan totaliter. Sehingga saya menganggap tulisan Orwel ini Lebih dari sekadar fiksi -1984 adalah narasi otentik atas realitas politis yang menunjukkan bagaimana kekuasaan absolut dapat membentuk kebenaran mutlak, menghapus masa lalu, hingga mengendalikan cara berfikir manusia.
Untuk itu, ulasan ini memberikan perhatian khusus kepada dua tokoh penting dalam proyek penyesatan warga Oceania, yakni tokoh utama Winston Smith sebagai penulis ulang sejarah dan Big Brother sebagai perwujudan dari kekuasaan totaliter.
Winston Smith dan Pemalsuan Sejarah
Winston Smith merupakan tokoh utama sekaligus menjadi simbol perlawanan bawah tanah terhadap rezim totaliter partai. Keseharian Winston adalah seorang pekerja di Ministry of Truth, sebuah lembaga pemerintahan yang memiliki fungsi politis: yakni merubah sejarah, mengubah fakta, menciptakan kebohongan hingga diproduksi menjadi kebenaran resmi dan legal di mata negara dan warganya. Keseharian Winston diisi dengan mengedit artikel, surat kabar, arsip statistik, dan rekaman masa lalu, agar sesuai dengan versi realitas yang sedang dikampanyekan oleh partai. Bukan tanpa sebab, hal ini dilakukan agar setiap kehendak partai selalu sejalan dengan berbagai catatan masa lalu, seperti narasi "Partai adalah mereka yang membawa kedamaian pasca revolusi." Lebih gila lagi nama tempat kerja Winston adalah Kementerian kebenaran tapi tugas utamanya adalah memproduksi kebohongan.
Pembacaan saya terhadap novel ini adalah, Orwel melalui Winston ingin menunjukkan bahwa dalam negara totaliter, sejarah bukan lagi catatan objektif dari realitas masa lampau, melainkan alat kekuasaan. Tak jarang dalam proyek kementerian kebenaran bahwa apa yang benar hari ini bisa dianggap salah esok hari. Semuanya tergantung pada kehendak dan kepentingan politik partai yang menjadikan Big Brother sebagai poros utamanya.
Berhari-hari Winston bekerja sebagai pembohong. Keresahan pun mulai terasa. Perasaan tercekik tumbuh dari kepalsuan yang diciptakan sendiri. Kondisi ini pun membuat Winston menulis sebuah buku harian rahasia. Meski Winston bekerja untuk negara, tetap saja tindakan Winston yang merekam pemikirannya sendiri adalah gerak subversif dan sangat berisiko. Tidak hanya itu, upaya ini pasti dianggap sebagai cara mempertahankan ingatan personal di tengah rezim totaliter yang membunuh sajarah kolektif.
Keresahan terhadap tulisan-tulisannya pun terus berlanjut tapi menurut Winston menulis catatan harian merupakan perlawanan terhadap dominasi kekuasaan, maka perlawanan terhadap arus utama partai adalah tindakan revolusioner.
Big Brother Wajah Kekuasaan dan Bayang-Bayang Totaliter
Meski akhirnya Winston mewakili individu yang mempertanyakan sistem, tapi tokoh berikutnya adalah Big Brother-sebuah lambang absolut dari sistem itu sendiri. Anehnya, setiap kali saya membaca Big Brother, ia tidak pernah benar-benar muncul secara fisik dalam novel, namun visual wajahnya ada di mana-mana seperti di poster, layar teleskrin (sebuah alat perekam yang berada hampir di setiap tempat), hingga di pikiran rakyat. “Big Brother is watching you” semacam narasi yang senantiasa diulang untuk menanamkan rasa diawasi dan menundukkan secara psikis.
Big Brother bukan sekedar jelmaan otoritarian, tapi mitos politik yang sengaja diciptakan untuk menanamkan rasa takut dan pada saat yang sama juga menciptakan rasa aman. Big Brother adalah sosok yang selalu dianggap paling tahu, sekaligus adil dan tak pernah salah.
Sebenarnya setiap kali saya masuk pada pembahasan Big Brother, saya tidak begitu jelas mengetahui apakah ia benar-benar ada atau hanya hasil dari realitas yang di buat-buat oleh Partai untuk melegitimasi kehendak. Namun justru karena sifatnya yang tak tersentuh, Big Brother kian menjadi sakral.
Kehendak Big Brother adalah kekuasaan absolut. Ia tidak hanya mengatur gerak- gerik, tapi memaksa masyarakat untuk menerima kebohongan sebagai kebenaran lewat narasi-narasi yang susah untuk diterima-semacam kemampuan untuk meyakini dua hal yang kontradiktif secara narasi dan makna, seperti warga harus bisa menerima bahwa “Perang adalah damai, kebebasan adalah perbudakan, kebodohan adalah kekuatan.”
Novel ini semakin menarik karena kehidupan di kota ini ada dalam cengkraman Big Brother. Pikiran personal selalu dianggap sebagai kejahatan pikiran dan pelakunya akan dihapus dari sejarah-secara harfiah dan simbolis-oleh polisi pikiran.
Memori Pribadi Vs Fakta Resmi
Pembahasan menarik dalam 1984 adalah konflik antara ingatan pribadi dengan narasi resmi negara. Winston, sebagai individu, pasti mempunyai memori akan masa lalu yang cenderung bertolak belakang dengan versi sejarah partai. Winston selalu ingat bahwa dahulu pernah ada narasi pembebasan sekaligus kehendak bebas, pernah ada cinta yang tulus. Namun, memori-memori ini terus-menerus terkikis oleh kejahatan partai yang menekan warga untuk percaya bahwa partai selalu mutlak benar, bahkan ketika faktanya menunjukkan sebaliknya.
Saya selalu menganggap 1984 adalah novel yang bukan sekadar fiksi, melainkan peringatan penting untuk kita semua bahwa kekuasaan yang tak terbatas pasti melahirkan kekejaman. Sehingga Melalui Winston Smith yang dilema, Orwell sedang menjelaskan bahwa kebenaran dan sejarah bisa dipolitisasi, sehingga setiap orang bisa dilenyapkan bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara psikologis.
Akhirnya melalui Big Brother, kita bisa melihat bahwa tirani totaliter tidak hanya membungkam suara rakyat, tetapi juga mengontrol ingatan, bahasa, bahkan kenyataan itu sendiri. Praktik serupa juga hadir lewat pengawasan, penyensoran, dan revisi sejarah yang masih terjadi di berbagai belahan dunia-dan bisa saja, agenda semacam ini sedang berlangsung di Indonesia. (*)
Type above and press Enter to search.
Type above and press Enter to search.