

Ilustrasi-Hubungan patron-klien kerap berlangsung dalam pola timbal balik yang tampak wajar, namun secara halus melanggengkan budaya penindasan yang tak kasat mata. Ilustrasi: MUI digital.
SAREKATRAKYAT.COM- Patron-klien sebenarnya bukan istilah yang asing. Kita sering menjumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Kita mungkin saja pernah melihat seorang pemimpin korup dan punya rekam jejak buruk, tapi tetap saja terpilih berulang kali menduduki jabatan tertentu. Kita juga mungkin tidak asing dengan politik uang, politik jabatan, dan bantuan sosial yang sering kali muncul saat pemilu. Tapi meski demikan, hal itu tetap ada dan membudaya dalam kehidupan masyarakat. Ini adalah bagian kecil dari contoh patron klien.
Patron berasal dari bahasa latin yang artinya bangsawan, sementara klien artinya pengikut. Ringkasnya, patron klien adalah hubungan antara mereka yang memiliki status, wewenang dan pengaruh besar-mengontrol orang-orang lemah yang dapat diperintah dengan sesuka hati tanpa adanya penolakan meski itu menindas dan merugikan.
James Scoott dalam penelitiannya di Asia Tenggara pada 1970 menemukan bahwa ada perbedaan menonjol antara petani di Eropa dan Asia Tenggara. Di Eropa, kelas sosial sangat nampak dan tegas, hingga sering kali terjadi pertentangan antar kelas. Sementara di Asia Tenggara justru hubungan kelas terasa kabur dan di sinilah hubungan patron-klien sangat kuat. Hubungan antara touke (tengkulak) dan petani misalnya, sangat terasa sebagai hubungan persaudaraan atau pertemanan.
Para tengkulak bertindak sebagai patron, menggunakan pengaruhnya untuk melindungi petani melalui bantuan dan pelayanan. Saat petani kesusahan, para touke yang memberikan modal dan pinjaman. Sehingga, hubungan kelas sangat tidak terasa. Mereka tidak sepenuhnya memandang para tengkulak sebagai musuh yang harus di lawan seperti di Eropa. Meski sebenarnya, ketertindasan itu justru berasal dari relasi seperti ini.
Kalau kita tarik ke Indonesia, hubungan patron-klien terasa sangat mencolok. Hampir di semua lapisan masyarakat, pada setiap lembaga, instasi, atau wilayah, hampir menggunakan politik patron-klien.
Dalam konteks politik,tokoh-tokoh masyarakat memiliki pengaruh yang sangat besar. Kebanyakan orang memilih pemimpin berdasarkan hubungan persaudaraan atau pertemanan. Atau paling tidak, ketika pilihan itu mendatangkan keuntungan bagi mereka. Misalnya,pemberian barang atau bantuan dari kandidat dengan mendatangi rumah warga. Orang-orang akan merasa itu sebagai hal yang baik. Atau, bisa juga rekomendasi calon pemimpin datang melalui patron mereka-dari seorang tengkulak, ustad, guru, pimpinan atau bahkan lewat hubungan persaudaraan. Atas landasan percaya itu mereka memilih.
Ini mungkin terdengar tidak rasional bagi sebagian orang. Tapi sebenarnya, ini adalah cara mempertahankan diri. Mereka menggunakan politik sebagai tempat penyanggah perekonomian mereka yang fluktuatif, naik turun, dan tidak menentu. Inilah yang disebut dengan istilah moral ekonomi.
Menurut James Scoott, hubungan patron-klien terjadi ketika para petron membantu klien dengan material sementara seorang-klien merasa perlu membalas bantuan dari seorang patron sebagai timbal balik atau rasa trima kasih. Balasan ini dilakukan dengan penghidmatan atau pengabdian. Maka, tidak heran bila pembelian suara masih sering terjadi karena hubungan patron klien mengakar kuat dalam budaya.
Politik orang dalam di dunia kerja juga merupakan contoh nyata dari hubungan patron klien, di mana kedekatandan sogok-menyogok adalah hubungan timbal balik. Hubungan buruh dan majikan, preman sebagai jasa pengamanan, atau aparat sebagai pelindung dari tindakan kriminal menjadi bagian dari budaya dan hidup di alam bawah sadar masyarakat.
Selama ada keuntungan di balik setiap tindakan, maka hubungan resiprositas ituakan terus berjalan seolah-olah sebagai bentuk persaudaraan.
Ketidaksadaran akan hubungan yang berjalan sejak lama ini, sering kali menempatkan masyarakat tidak peduli pada gagasan. Mereka lebih mementingkan ha-hal material. Inilah yang sering dimanfaatkan para patron untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Mungkin saja mereka sering mengeluh, merasakan lelah pada kehidupan yang semakin pelik. Tapi keberadaan sistem dan struktur yang telah membudaya seolah menjadi hal yang lumrah dan biasa saja. Tidak ada yang janggal, ibaratnya, hidup seperti cerita yang telah ditakdirkan.
Jadi, rasanya gagasan James Scoott tentang politik patron klien masih terasa sangat kental di Indonesia. Dapat dilihat dari hubungan timbal balik dan rasa terima kasih yang masih membudaya.Ringkasnya, mungkin saja patron klien bisa dijadikan teori untuk menganalisis kehidupan masyarakat. Sebelum mengorganisir sesuatu, kita perlu memperhatikan terlebih dahulu: apakah hubungan kelas sosial dapat dipandang sepenuhnya sebagai hubungan yang kaku dan memicu perlawanan atau justru ada sistem yang sudah membudaya sehingga tidakmemungkinkan perlawanan langsung karena relasi patron klien terlalu kuat untuk dipisahkan. (SR/Rizal)
Type above and press Enter to search.
Type above and press Enter to search.