Masyarakat setempat menderita akibat ketidakjelasan dalam penggunaan dan perawatan fasilitas yang ada. Hal ini semakin diperparah oleh fakta yang tercantum dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Provinsi Kalimantan Timur untuk periode 2025-2045, yang menunjukkan bahwa Kaltim dan Kaltara (Kalimantan Utara) memiliki surplus daya listrik. Namun, realitanya jauh dari harapan.

Menurut Mashur Sudarsono Wira Adi, Kepala Bidang Ketenagalistrikan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim, terdapat 110 desa yang tersebar di enam kabupaten/kota yang masih hidup dalam kegelapan, tidak teraliri listrik. Bantuan panel surya yang diberikan pemerintah pada tahun 2022 sempat memberikan harapan, tetapi hal itu terasa setengah hati, tidak mencukupi kebutuhan masyarakat. Ironisnya, kondisi ini bukan hanya fenomona lokal, melainkan juga terjadi di wilayah-wilayah yang dikenal memiliki kekayaan alam yang melimpah.

Dalam konteks ini, Marwati, seorang perempuan adat Paser dari RT012, Desa Rangan, Kecamatan Kuaro, Kabupaten Paser, menjadi simbol kekuatan dan ketahanan. Selama lebih dari tiga dekade, dia dan keluarganya yaşam dalam kegelapan, meskipun Kaltim diperkenalkan sebagai lumbung energi nasional. Pada saat krisis akibat pandemi COVID-19 tahun 2022, mereka menerima hibah panel surya, meski jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka secara berkelanjutan.

Beyrra Triasdian, Manajer Program dan Pengampanye Energi Terbarukan dari Trend Asia, menyatakan bahwa Marwati dan Karyadi adalah contoh nyata bagaimana masalah akses energi di Kaltim berlangsung. Senada dengan Marwati, Karyadi juga menggunakan panel surya berkapasitas 30 Watt-Peak (WP) untuk menerangi rumahnya dengan satu bohlam tiga watt pada malam hari. Mereka adalah pengguna energi terbarukan yang sangat bergantung pada teknologi yang terbatas, yang seharusnya menjadi solusi, tapi sering kali malah menjadi masalah.

Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa 38% dari cadangan batubara nasional terdapat di Kaltim, dengan jumlah mencapai 11,59 miliar ton. Di tengah kekayaan ini, banyak warga, seperti Marwati, masih terkungkung dalam kegelapan, mengandalkan bantuan yang sangat sedikit. kenyataan ini menimbulkan pertanyaan besar: untuk apa energi yang melimpah jika tidak dapat dinikmati oleh mereka yang berada di tengahnya?

Perusahaan yang terafiliasi dengan PT Madhucon Indonesia, yang menguasai konsesi tambang batubara seluas 7.628 hektar di Sumatera Selatan, menjadi salah satu penyebab nasib masyarakat menjadi semakin menyedihkan. “Kalau gitu, kan sebenarnya PLN membebankan (penyambungan) jaringan terhadap masyarakat secara tidak adil,” kritik Beyrra. Ia menunjukkan bahwa ada ketidakadilan yang terstruktur dalam distribusi akses energi di wilayah rawan seperti Kaltim.

Penetapan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang berdekatan dengan tempat tinggal Marwati, tidak serta merta mengubah nasibnya. Sebaliknya, perubahan itu lebih banyak membawa dampak negatif ketimbang positif. Investasi besar yang masuk dalam proyek IKN seharusnya menguntungkan masyarakat lokal, tetapi justru sebaliknya, mereka masih terperosok dalam hingar bingar industri yang tidak menguntungkan mereka sama sekali.

Hari-hari Marwati dilalui dengan bayangan ketidakpastian dan kegelapan. Kegelapan tidak hanya menjadi simbol dari kekurangan listrik, tetapi juga menandakan ancaman terhadap keselamatan. Ia sering kali dipenuhi rasa takut akan gangguan dari satwa liar atau bahkan individu lain yang mungkin memiliki niat jahat. Senter kecil menjadi alat penerangan utama yang menemaninya dalam menghadapi malam yang panjang dan kelam.

Sangat jelas bahwa perjuangan Marwati dan penduduk lain di Kaltim adalah contoh nyata dari ketidakadilan energi yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara. Sementara di satu sisi, pemerintah terus mengklaim keberhasilan dalam memastikan pasokan energi, di sisi lain, ribuan jiwa masih terjebak dalam kegelapan.

Dalam konteks lebih luas, perjuangan ini menggambarkan bagaimana kekayaan alam tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Banyak wilayah yang kaya akan sumber daya malah tetap dibiarkan dalam keterbelakangan. Perlu ada tindakan nyata, bukan hanya janji-janji yang menguap di udara.

Ini adalah masalah yang harus segera diatasi. Tidak cukup hanya mengandalkan bantuan sesaat, tetapi dibutuhkan sistem yang holistik dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa setiap orang, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil dan terpinggirkan, mendapatkan akses yang layak terhadap energi. Sebuah revolusi dalam pengelolaan energi dan keadilan sosial sangat diperlukan untuk menuntut hak-hak dasar tersebut. Jika tidak, kegelapan akan terus melingkupi mereka yang sebenarnya berhak atas cahaya kehidupan.

Share this article
The link has been copied!