

Sumber foto: Kompas/Agus Santoso
SAREKATRAKYAT.COM- Pernahkah kita mendengar istilah gastrokolonialisme? Mungkin pernah, atau mungkin juga asing di telinga. Lalu, apa sebenarnya gastrokolonialisme itu?
Gastrokolonialisme adalah bentuk penjajahan lewat sistem pangan. Ia hadir melalui produksi makanan oleh perusahaan-perusahaan besar yang menggantikan sistem pangan lokal, memicu kecanduan terhadap makanan baru sekaligus menghapus budaya makan tradisional yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Craig Santos Perez peneliti asal Guam, yang menggambarkan bagaimana perusahaan makanan transnasional di Hawai menciptakan ketergantungan pada makanan tak bergizi yang perlahan menggerus budaya makan masyarakat lokal. Fenomena seperti ini juga terjadi di Indonesia.
Di Bian Hulu,Merauke, masyarakat Marind megalami proses yang serupa. Mereka yang awalnya menggantungkan hidup pada hutan, rawa, kebun, dan sagu-mengandalkan umbi-umbian, akar, buah-buahan dan berburu binatang liar, perlahan mulai ketergantungan pada makanan instan dan beras. Padahal, mereka memiliki keterkaitan yang sangat kuat terhadap hutan tempat mereka hidup.
Makan bagi orang Marind bukan sekedar aktivitas fisik. Ia adalah ritual yang penuh makna: mendengarkan suara burung dan serangga, mendengarkan aliran sungai, menyusuri jejak binatang, duduk bersama di bawah naungan pohon,dan berbagi cerita sambil mengunyah makanan hasil alam.Mereka menyebut ini sebagai “makan bersama alam”. Bukan hanya soal rasa kenyang, melainkan juga tentang mengenang leluhur, menyatu dengan hutan dan menghormati kehidupan.
Orang Marind memandang hutan sebagai kerabat mereka, setara dengan manusia. Setiap tetes keringat dan darah yang jatuh saat berburu,menebang sagu, atau meramu pangan, dipercaya akan diserap oleh tanah dan menjadi bagian dari siklus kehidupan. Serangga, siput, dan makhluk kecil lainnya ikut menikmati hasil kerja mereka.
Dalam kerja sehari-hari, laki-laki berburu dan menebang sagu; perempuan memasak, mengolah hasil hutan, menggendong anak, sambil berbagi cerita tentang asal-usul makhluk hidup. Mereka menyebut diri sebagai orang sagu karena sagu bukan hanya makanan, melainkan jantung kehidupan.
Semua dilakukan secara kolektif. Proses bersama ini memperkuat sistem kekerabatan dan memperkaya identitas budaya mereka.
Ekspansi Perusahaan dan Hancurnya Sistem Pangan Lokal
Selama beberapa dekade terakhir akses orang Marind Bian Hulu terhadap makanan hasil dari hutan telah dirusak secara radikal oleh perusahaan kelapa sawit yang masuk hingga kebatas-batas permukiman sampai ke wilayah hutan mereka: menghancurkan sagu, zona berburu dan hutan yang selama ini dianggap kermat. Pola makan mereka berubah drastis tergantikan oleh komoditas ekspor yang lebih murah yang bisa didapatkan dari pemerintah dan perusahaan sebagai bagian dari sekema pertanggungjawaban sosial. Makanan hutan seperti daging, buah-buahan dan sagu tergantiikan oleh nasi, mie instan, biskuit, minuman bersoda dan lain lain. (Chao 2022)
Akibatnya berdasarkan temuan antropolog Shopie Chao, penduduk lokal banyak terserang penyakit yang selama ini tidak pernah ada di wilayah Orang Marid: seperti daya tahan tubuh yang lemah,penyakit saluran pencernaan, radang paru-paru dan lain-lain. Ekspansi perusahaan agribisnis di Merauke telah merubah sistem kebudayaan mereka dan menciptakan Malnutrusi pada orang marind.
Di sisi lain, ketika mereka sakit, mereka harus mendapatkan diskriminasi rasial dari puskesmasdan rumah sakit, yang menganggap rendah orang Marind. Narasi perusahaan dan negara pun cenderung membingkai kelaparan, kurang gizi, dan keterbelakangan sebagai kesalahan mereka sendiri, padahal Justru proyek makanan dan kehadiran perusahaanlah yang mengubah struktur kehidupan mereka.
Hadirnya buldoser, proyek food estat dan tentara turut memperparah kondisi. Mereka mengambil tanah dan hak-hak masyarakat. Negara seolah menganggap ini sebagai hal yang sepele, seakan pembangunan yang dilakukan akan berdampak positif bagi kehidupan masyarakat. Padahal justru sebaliknya-sering kali pembangunan itu datang disertai paradoks.
Refleksi
Peristiwa seperti ini tentu dapat dijadikan bahan refleksi bagi kalangan muda, untuk memahami bahwa proyek yang digagas dengan narasi pembangunan,kemajuan, dan lain-lain tidak terlepas dari muatan politis yang justru membuat masyarakat adat semakin terasing dan tercerabut dari akar budayanya.
Tidak semua masalah bisa diselesaikan dari atas, butuh pemahaman yang lebih dalam dan pendekatan yang lebih dekat dengan masyarakat yang terkena imbas pembangunan. Negara dan perusahaan tidak melihat apa yang dialami oleh Orang Marind sebagai masalah, justru sangat dangkal pemahaman mereka jika hanya mengaitkan ini dengan kurangnya gizi dan lainnya.
Singkatnya gastrokolonialism adalah proyek yang digagas untuk menggantikan sistem kehidupan dengan sistem dominasi pangan modern-yang memisahkan manusia dari alam dan menanamkan ketergantungan pada sistem yang merusak. (SR/Rizal)
Sumber:
Chao, Sophie. 2022. “Gastrocolonialism:The Intersections of Race, Food, and Development in West Papua.” InternationalJournal of Human Rights 26(5):811–32. doi: 10.1080/13642987.2021.1968378.
Type above and press Enter to search.
Type above and press Enter to search.