Pidato Presiden Jadi Sorotan: LSM Diseret ke Panggung Tuduhan. Apakah Ini Sinyal Perang terhadap Kritik Sipil atau Narasi Nasionalisme Baru yang Tengah Dirakit?

SAREKATRAKYAT.COM— Dalam peringatan Hari Lahir Pancasila, Presiden Prabowo Subianto berdiri di podium sebagai kepala negara yang seharusnya merayakan nilai-nilai persatuan, keadilan sosial, dan semangat gotong royong. Namun, di tengah pidatonya yang dibumbui retorika nasionalis, satu kalimat menyulut perdebatan: “Ada LSM yang dibiayai oleh kekuatan asing untuk mengadu domba bangsa Indonesia.” Pernyataan ini tidak hanya mengguncang ruang publik, tapi juga membuka kembali luka lama dalam relasi antara negara dan masyarakat sipil berupa kecurigaan yang sistematis terhadap suara-suara kritis.

Dalam waktu singkat, kalimat itu menjadi tajuk utama media, viral di media sosial, dan menjadi amunisi panas dalam diskusi politik. Kritik bermunculan dari berbagai pihak, mulai dari aktivis, akademisi, hingga politisi lintas partai. Banyak yang menilai bahwa pidato tersebut bukan sekadar ekspresi spontan, melainkan sinyal politik yang perlu dibaca dengan cermat.

Tudingan yang Menyasar Legitimasi

Narasi soal “LSM asing” bukan hal baru di Indonesia. Ini adalah wacana yang berulang kali muncul dalam konteks pemerintahan yang sedang berusaha mengonsolidasikan kekuasaan dan membungkam kritik. Namun, ketika ucapan itu datang dari seorang presiden di forum resmi negara, dalam momentum kenegaraan yang sakral, dampaknya menjadi jauh lebih dalam. Pernyataan itu bisa dimaknai sebagai strategi untuk mendeligitimasi kerja-kerja advokasi yang tidak sejalan dengan agenda pembangunan rezim, terutama di sektor-sektor sensitif seperti agraria, lingkungan hidup, dan hak asasi manusia.

Menurut Luluk Nur Hamidah dari PKB, tudingan tersebut justru menunjukkan sikap defensif negara terhadap kritik. “Pendanaan asing tidak serta merta membuat LSM menjadi alat kepentingan luar negeri. Justru mereka hadir karena negara gagal menjalankan mandat keadilan sosial,” tegasnya. Luluk menekankan bahwa framing ini bisa mengarah pada pembungkaman, sebab mengaburkan antara keterlibatan global dan intervensi asing.

Reaksi Masyarakat Sipil: Balik Menyerang

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), salah satu organisasi yang paling vokal dalam isu lingkungan dan hak masyarakat adat, merespons keras. Muhammad Al Amin dari WALHI menyebut pidato Prabowo sebagai bentuk kekeliruan fatal yang emosional dan kontraproduktif. “Ini sangat berbahaya. LSM justru berada di garda depan menjaga konstitusi ketika negara lalai,” ujarnya. Menurut WALHI, tuduhan ini bisa berujung pada kriminalisasi aktivis dan pengetatan ruang gerak organisasi sipil, sebagaimana pernah terjadi di era Orde Baru dan pasca-reformasi dalam berbagai bentuk.

Aliansi masyarakat sipil lainnya menyoroti bagaimana narasi nasionalisme yang dipakai justru berpotensi merusak demokrasi. “Apakah nasionalisme hanya dimaknai sebagai keseragaman suara? Apakah kritik dianggap sebagai ancaman terhadap bangsa? Jika demikian, maka demokrasi sedang menuju jalan yang suram,” kata salah satu pernyataan kolektif jaringan NGO.

Menakar Arah Politik Prabowo: Simbol, Retorika, atau Kebijakan Nyata?

Pertanyaan yang kini bergema adalah: apakah ini sekadar slip lidah, atau bagian dari narasi yang sengaja dibangun? Mengingat Prabowo selama ini dikenal dengan retorika nasionalismenya yang kuat, pernyataan itu bisa menjadi indikasi arah kebijakan ke depan, yakni semakin sempitnya ruang sipil dan menguatnya kontrol negara terhadap narasi publik. Di sisi lain, hal ini juga bisa dimaknai sebagai manuver simbolik untuk menunjukkan ketegasan terhadap “intervensi asing,” sebuah tema yang sering dipakai untuk mengangkat popularitas.

Namun yang membedakan sekarang adalah konteksnya. Prabowo kini bukan lagi tokoh oposisi atau kandidat presiden, tapi kepala negara yang ucapannya menjadi dasar legitimasi tindakan politik dan hukum. Jika narasi ini berkembang tanpa klarifikasi, bukan tidak mungkin akan dijadikan dasar pembatasan pendanaan internasional untuk NGO, pengawasan lebih ketat terhadap program kerja mereka, bahkan potensi revisi terhadap UU Yayasan atau UU Ormas.

Pancasila dan Nasionalisme yang Dipertanyakan

Ironisnya, semua ini terjadi dalam momen perayaan Hari Lahir Pancasila, simbol pemersatu bangsa. Ketika Pancasila diklaim sebagai dasar kebijakan dan semangat nasional, pertanyaannya: apakah semua sila benar-benar dijalankan? Apakah sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dimaknai dalam kebijakan yang inklusif, atau hanya dipakai sebagai jargon kosong?

Megawati Soekarnoputri, yang juga hadir sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP, tidak menanggapi langsung pidato Prabowo, namun kehadirannya dalam satu panggung menyiratkan simbol harmonisasi elite. Apakah ini pertanda kesepakatan diam-diam dalam menata ulang narasi kebangsaan dengan pendekatan yang lebih sentralistik dan nasionalistik?

Kesimpulan

Pidato Prabowo pada peringatan Hari Lahir Pancasila 2025 bukan sekadar sambutan kenegaraan. Ia adalah cermin dari arah politik yang mulai menunjukkan kecenderungan untuk menutup ruang kritik dengan dalih menjaga persatuan. Tuduhan terhadap LSM menjadi titik kritis yang menandai ketegangan antara negara dan masyarakat sipil. Pertanyaannya kini: apakah pemerintah akan merangkul atau justru menyingkirkan suara-suara berbeda?

Masyarakat Indonesia, terutama generasi muda, harus jeli membaca tanda-tanda zaman. Nasionalisme yang sehat bukan tentang membungkam kritik, tapi menerima keberagaman suara dalam semangat demokrasi. Jika  , Pancasila akan berubah dari fondasi persatuan menjadi instrumen penghakiman. (SR/NA)

  • Sumber: Tribun Timur (Respon Pernyataan Prabowo, Walhi: LSM bersikap Kritis ke Pemerintah Bukan untuk Mengadu Domba); Media Indonesia (Ketua Umum IKA Perempuan PMII Tanggapi Pernyataan Presiden Prabowo Soal LSM); Kompas.com (Prabowo: Pihak Asing Biayai LSM untuk Adu Domba Kita); Tempo.co, (Politikus PKB Kritik Prabowo yang Menuding LSM Didanai Asing)

 

Share this article
The link has been copied!