

SAREKATRAKYAT.COM Masih ingatkah kita dengan Neneng atau belakangan dikenal dengan istilah Nenengisme-seorang ibu rumah tangga yang sempat viral lewat unggahannya di Facebook?
Segalanya bermula dari sebuah halaman Facebook Bernama NenengRosdiyana. Di balik akun itu, tersembunyi sosok ibu rumah tangga biasa yang tak segan bersuara lantang. Selain sibuk mengurus keluarga, Neneng aktif dalam komunitas perkebunan dan kerap membagikan pandangannya tentang lingkungan,ketimpangan sosial, dan kebijakan publik.
Awalnya, fan page tersebut diberi nama Marxisme Indonesia.Nama itu sempat memicu kontroversi dan perdebatan di kolom komentar. Banyak yang langsung mengaitkan Neneng dengan ideologi kiri. Namun, ia menepis anggapan itu. “Saya baru mengenal istilah marxisme setahun lalu, ”katanya santai. Ia mengaku tidak terlalu ambil pusing dengan ocehan warganet. Baginya, lebih penting tetap hidup seperti biasa-berkebun, bersosial dan berpikir kritis.
Suara Kritisdari Akar Rumput
Postingan Neneng bukan sekedar keluhan kosong. Ia kerap melontarkan budaya kritik terhadap kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat kecil. Dalam salah satu unggahan pada selasa, 11 Juni 2025, Neneng menulis:
”Saat sudah terlanjur rusak, alam memang punya cara untuk memperbaiki dirinya sendiri. Manusia menyebutnya bencana. Hidup harmonis dengan alam mungkin tidak membantu kaya raya, tapi paling tidak kamu sudah menjaga hak generasi selanjutnya untuk merasakan indahnya tinggal di tanah surga.”
(#RajaAmpat)
Tulisan itu muncul di tengah polemik kerusakan lingkungan Raja Ampat. Ia menyuarakan keresahan yang juga dirasakan banyak orang-namun tak semua punya keberanian atau platform untuk bersuara.
Banyak unggahan lainnya yang senada: mengkritisi ketimpangan, mempertanyakan arah pembangunan,dan menyuarakan kesadaran kolektif.
Jika SemuaOrang Seperti Neneng
Bayangkan jika lebih banyak warga Indonesia bersikap seperti Neneng: peduli, vokal, dan tidak takut menyuarakan kebenaran. Mungkin kita akan menyaksikan kebijakan yang lebiih cepat-seperti pencabutan izin tambang di Raja Ampat yang terjadi setelah gelombag kritik publik.
Tapi bagaimana jika sebaliknya? Jika masyarakat pasif dan diam? Bisa jadi para pemodal dan pejabat yang bersekongkol akan bersorak gembira, merasa dunia ada dalam genggaman mereka.
Maka dari itu sikap kritis seperti ditunjukan Neneng perlu tumbuh subur di masyarakat. Ini bukan soal ideologi tertentu, bukan soal apakah Anda Marxis atau bukan, ini soal kesadaran-bahwa membela yang tertindas dan menjaga bumi adalah tanggung jawab bersama. Mengkritik negara bukan berarti membenci, justru sebaliknya: bentuk tertinggi dari kepedulian.
Berkebun Sebagai Perlawanan
Di luar media sosial, Neneng juga aktif dalam kegiatan berkebun dan berladang bersama kelompok masyarakat. Banyak di antaranya adalah Perempuan. Di sinilah ia menunjukkan bahwa kemandirian bisa di bangun dari bawah, dari tanah yang ditanami sendiri.
”Tanah bukan sekedar pijakan,” tulisnya di Facebook. ”Tapi tempat menanam harapan. Bukan hanya benih yang ditabur, tapi juga agar hidup tak hancur.”
Dalam salah satu unggahannya, Neneng menulis:
”Menundukkan perempuan bukan tanda kekuatan, tapi ketakutan. Perempuan yang berdaya bukan ancaman, tapi kekuatan bagi semua.”
Kalimat itu sontak memicu beragam reaksi. Ia menjadi inspirasi bagi banyak perempuan yang selama ini dipinggirkan dalam wacana Pembangunan.
Di Tengah Era “No Viral, No Justice”
Fenomena Neneng tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia muncul di era media sosial, ketika suara-suara dari pinggiran bisa meledak jadi percakapan nasional. Banyak yang mengaku baru mengenal marxisme setelah akun Neneng viral. Ini menunjukan kuatnya sistem afeksi digital: orang tertarik pada yang viral lebih daripada yang benar-benar substansial.
Tapi ada pelajaran penting di sini. Aktivisme seperti yang dilakukan Neneng-menggabungkan kerja nyata di lapangan dengan keberanian bersuara di media sosial-patut dijadikan contoh gaya gerakan baru. Bukan gerakan besar yang menunggu orasi dan panggung, tapi gerakan sehari-hari yang mengakar dan terdengar.
Ia tak pernah menyangka akan seviral ini. Hanya seorang ibu rumah tangga, tapi kini menjadi simbol keberanian berbicara. Mungkin sudah waktunya kita menata ulang cara bergerak. Karena di era ini, berkebun bisa jadi bentuk perlawanan, dan mediasosial bisa jadi ladang revolusi. (SR/Rizal)
Sumber:
Kompas. Nenengismedan Kegagalan Komunikasi Iklim, 21 Mei 2025.
Facebook Neneng Rosdiyana
Type above and press Enter to search.
Type above and press Enter to search.