Kehilangan Sosial Primata Jadi Tanda Eksperimen Berbahaya

Apa yang akan terjadi saat pendanaan untuk penelitian berharga menemui titik akhir? Pertanyaan ini mengemuka ketika eksperimen-eksperimen yang menjanjikan tidak lagi memiliki dukungan finansial. Bayangkan, sebuah jaringan penelitian yang kaya inovasi dan harapan, tiba-tiba terancam kehampaan hanya karena masalah anggaran. Dalam dunia yang seharusnya mendorong eksplorasi, tantangan ini dan yang lebih parah lagi, seperti kehilangan teman sosial primata, menciptakan suasana ketidakpastian yang hampir tidak dapat diterima.
Dari kasus-kasus mengejutkan lainnya, seperti Nim Chimpsky yang berakhir di dalam laboratorium biomedical yang dingin dan sterilis, hingga tragedi Panbanisha yang menghembuskan nafas terakhirnya di fasilitas yang dipenuhi masalah, banyak ilmuwan mulai menjalin keraguan. Apakah masih bijaksana untuk terus mengeksplorasi dunia primata melalui eksperimen yang berisiko ini? Pertanyaan ini bukan hanya sekadar pandangan skeptis, tetapi sebuah kewajiban moral untuk memastikan bahwa setiap makhluk yang terlibat dalam penelitian memiliki kualitas hidup yang baik.
Dalam refleksinya, King, seorang antropolog biologi terkemuka, mengingat peristiwa ketika Kanzi, sang bonobo yang legendaris, berhadapan dengan objek yang tidak biasa. Ketika Kanzi melihat sesuatu di saku, ia menunjuk pada simbol “telur” dan “pertanyaan.” Meskipun pada akhirnya benda yang dimaksud ternyata bola dan bukan telur seperti yang diasumsikannya, usaha komunikasi Kanzi mencerminkan bentuk niat bertanya yang halus dan begitu manusiawi. Ini menunjukkan bahwa percakapan dan komunikasi adalah hal yang lebih dalam daripada sekadar pertukaran informasi; mereka adalah jendela menuju jiwa.
Meskipun hasil penelitian dari Kanzi mungkin tidak sebanding dengan yang dihasilkan oleh manusia purba dua juta tahun lalu, kontribusi yang ditawarkannya tidak dapat diabaikan. Para peneliti menganggap eksperimentasi ini sebagai langkah berharga, memberikan gambaran bahwa bonobo wie Kanzi tidak hanya memahami prinsip sebab-akibat, tetapi juga beradaptasi serta mampu berinovasi. Kanzi adalah seberkas cahaya yang menantang batasan pemahaman kita tentang kognisi primata.
Pada tahun 1990-an, sekelompok arkeolog dari Indiana University, Nicholas Toth dan Kathy Schick, memulai perjalanan unik dengan melatih Kanzi dan saudara perempuannya, Panbanisha, dalam keterampilan yang pada umumnya dianggap sebagai hak prerogatif manusia: mengolah alat dari batu. Melalui proses ini, Kanzi menunjukkan bukan hanya kemampuan untuk belajar, tetapi juga memiliki preferensi dan tujuan. Ini memberi bukti bahwa aktivitas bermain yang ia lakukan merupakan bentuk eksplorasi mental, bukan sekadar sarana hiburan yang biasa.
Sikap Kanzi menjelaskan banyak hal tentang dunia primata; dia bukan sekadar makhluk yang bergerak berdasarkan insting, tetapi individu yang memiliki keinginan dan pertanyaan. Ini adalah gambaran yang sangat berharga dalam upaya kita memahami tidak hanya tentang primata, tetapi juga tentang apa yang berarti menjadi manusia. Pelajaran yang bisa kita ambil sangat mendalam: kognisi bukanlah alat eksklusif manusia, melainkan sebuah spektrum yang melibatkan banyak makhluk yang hidup di sekitar kita.
Namun, ketika kita menyaksikan perjalanan mengagumkan Kanzi dalam studi mengenai evolusi dan kognisi, sebuah bel alarm berbunyi keras—perlu kita ingat bahwa pada tanggal 18 Maret 2025, dunia ilmu pengetahuan mengalami kehilangan besar. Salah satu primata paling berpengaruh yang pernah ada, Kanzi, menghembuskan nafas terakhir. Kehilangan ini tak hanya menjadi kehilangan individu, tetapi juga sebuah hilangnya potensi yang dapat menjembatani kita dengan pemahaman yang lebih dalam mengenai sains, kognisi, dan hubungan antar spesies.
Di sisi lain, kehilangan Kanzi juga membangkitkan pertanyaan krusial. Apakah kita masih akan melanjutkan penelitian yang seharusnya memberikan dampak yang mendekati transformatif, ataukah kita akan berhenti dan membiarkan tongkat estafet penelitian ini terjatuh begitu saja? Kita hidup di era di mana pengetahuan tidak hanya menjadi kunci untuk memahami asal-usul kita, tetapi juga merupakan tanggung jawab yang mendalam, mencerminkan nilai kemanusiaan yang seharusnya kita pegang teguh.
Karakteristik Kanzi yang mencolok—kecerdasan dalam berkomunikasi, bermain dengan tujuan, dan kemampuan berinovasi—serta tragedi yang menimpa teman-temannya dalam eksperimen-eksperimen ini adalah pengingat yang kuat. Kita perlu merenungkan kembali prinsip etis dalam penelitian ilmiah. Apakah kita, sebagai masyarakat, siap untuk mengorbankan hubungan ini demi pengetahuan? Apakah kemanusiaan kita cukup kuat untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak makhluk lain yang juga berjuang untuk memahami dan berdialog dengan dunia mereka sendiri?
Seiring kita merenungkan pencapaian yang diraih oleh Kanzi dan saudara perempuannya, perlu ada seruan untuk tindakan. Mempertahankan penelitian tanpa batasan anggaran mungkin tampak seperti langkah maju, tetapi janganlah kita lupa pada tanggung jawab besar yang menyertai upaya-upaya tersebut. Paradigma baru harus diciptakan—di mana inovasi dan etika berjalan beriringan. Hanya dengan begitu, kita dapat menjembatani dunia primata dengan pemahaman yang lebih dalam tentang eksistensi mereka dan tempat mereka di alam semesta ini.