KH Ulil Abshar Abdalla, MA, tokoh muslim Indonesia yang juga Ketua PBNU masa khidmat 2022-2027. Foto: net.

ENTAH mengapa saya tidak terlampau percaya pada Gus Ulil (KH Ulil Abshar Abdalla, MA) kalau bicara tentang lingkungan. Selain tidak cukup kompeten, juga tidak ada jejak pengalaman dirinya melawan eksploitasi sumber daya alam. Bagian besar kehidupannya adalah memberi pengajian, mengusik pikiran konservatif hingga terlibat dalam partai politik. Dedikasi itulah yang membuat dirinya dijuluki sebagai pemuka Islam Liberal. Ada banyak kontroversi dalam pandangannya tapi semua itu dinikmatinya. Popularitasnya dicapai karena penentangannya pada kaum wahabi. Konsep yang sekarang telah dia gunakan untuk para aktivis lingkungan.

Gus Ulil bahkan lupa dengan keadaan di sekitarnya. Suhu panas mulai naik, longsor ada di banyak tempat, dan bahkan polusi terus meracuni udara. Malah dengan bangga dirinya bersaksi akan banjir rob yang baginya tidak bisa dihentikan hanya dengan tesis penghentian bisnis ekstraksi sumber daya alam. Padahal itu adalah kampung halamannya sendiri. Desa yang kini mengalami nestapa: air laut menerjang permukiman, banyak warga tak bisa hidup normal bahkan geliat ekonomi terhenti karena situasi ini. Singkatnya kenyataan pedih yang dirasakan oleh warga sekitarnya tidak membuat dirinya sadar dan terbangun untuk bergerak, membela apalagi memperjuangkan. Ia masih sibuk meyakini kebenarannya yang relatif dan konyol.

Tapi Gus Ulil tidak sendiri karena itulah yang bisa jadi cerminan para pemuka agama. Terutama sejak mereka dengan tanpa sesal menerima konsesi tambang. Keputusan yang melacurkan keyakinan itu tidak bercermin pada keadaan umat yang ada di sekitar daerah konsensi. Abai mereka pada kehancuran ekonomi bahkan kerusakan lingkungan yang terjadi. Tanpa empati dan kurangnya solidaritas itulah yang membuat agama ini kehilangan kekuatan pembebasnya. Dibajaknya keyakinan keagamaan hanya pada topik perbaikan akhlak personal pemeluknya ketimbang kerusakan ekosistem yang merusak watak manusia. Bagi mereka, manusia berbuat dosa itu semata-mata karena digoda oleh setan dan hawa nafsu. Lupa mereka bahwa lingkungan yang tercemar akan menjatuhkan integritas dan kepribadian seseorang.

Gus Ulil tak perlu banyak membaca buku tapi tinggal sejenak di Rembang. Kota yang dekat dengan asal-usulnya. Di sana ada pabrik semen yang berdiri serta melakukan eksploitasi. Udara dicemari hingga petani tidak bisa bekerja dengan normal.Sudah banyak riset memberi petunjuk akan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pabrik semen. Sidang berulang kali terjadi hingga penduduk mendapatkan kemenangan. Tapi hukum ternyata tidak punya kemampuan untuk menghentikan operasi. Vonis itu hanya selembar pernyataan yang tidak banyak gunanya. Pada situasi itulah kehidupan rakyat berlangsung dan Gus Ulil bisa menyaksikannya dengan atau tanpa membawa buku Ihya. Jika belum percaya maka berjalanlah sejenak ke Sidoarjo tempat di mana lumpur Lapindo masih mengalir. Bukan hanya kehidupan yang dikubur tapi tanah makam juga lenyap tak berbekas.

Saat Al-Ghazali didera oleh situasi politik yang panas dan brutal. Al Ghazali memutuskan untuk sejenak mengucilkan diri lalu menulis buku yang jadi sumber ceramah Gus Ulil. Ihya Ulumuddin ditulis dalam semangat kritik dan kritis pada keadaan. Karya itu adalah cerminan keresahan Al-Ghazali pada agama yang hanya jadi praktik ritual serta penghambaan pada kekuasaan. Andai Al-Ghazali masih bersama kita, mungkin ditulisnya risalah lingkungan yang berani dan tajam. Sayang etos perlawanan Al-Ghazali itu tidak menyentuh batang keyakinan Gus Ulil sehingga melihat kerusakan lingkungan dengan perasaan yang datar serta pikiran yang tidak kritis. Saatnya Gus Ulil kembali ke kampung, lalu hiduplah bersama rakyat yang untuk sekadar hidup normal harus berjuang dengan sedemikian keras.

Terima kasih.

Eko Prasetyo, pendiri Social Movement Institute.

Share this article
The link has been copied!