SAREKAT RAKYAT.COM- Jumat sore, 6 Juni 2025, suasana di salah satu kontrakan mahasiswa Papua di Denpasar berubah menjadi sunyi yang menegang. Sebuah paket tiba melalui ojek daring. Tidak ada yang merasa memesan, tapi nama pengirim dan penerima tertulis jelas: Wemison Enembe dan Yuberthinus Gobay. Dalam keterangannya, isi paket disebut sebagai buku Papua Bergerak. Tapi saat kardus itu dibuka, bangkai kepala babi busuk lengkap dengan tanah tergeletak di dalamnya.

Tak lama setelah itu, paket serupa diterima di kontrakan mahasiswa Papua lainnya. Dua paket, dua kepala babi busuk, dua pesan yang sama: diam, atau kau akan diteror.

Bagi Jeeno Alfred Dogomo, Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), peristiwa ini bukan sekadar gangguan iseng. Ini adalah bagian dari teror psikologis yang sengaja dirancang untuk membungkam gerakan mahasiswa Papua yang selama ini terus menyuarakan isu-isu penindasan, ketidakadilan, dan pelanggaran HAM di tanah mereka.

"Ini bukan ancaman biasa. Ini simbol yang kuat. Dalam banyak budaya, mengirim kepala babi adalah cara brutal untuk menghina, mengintimidasi, dan menakut-nakuti," ujar Jeeno. "Kami tahu ini pesan agar kami berhenti bersuara. Tapi kami tidak akan mundur."

Para mahasiswa pun tak tinggal diam. Melalui aplikasi GetContact dan media sosial, mereka melacak nomor pengirim yang tercantum di kardus. Nama Made Budawan muncul, dan foto-fotonya menunjukkan afiliasi dengan kelompok ormas tertentu. Dugaan kuat mulai terbentuk: pengiriman ini bukan kerja individu, tapi bagian dari sistem represi yang lebih besar dan terorganisir.

Namun hingga hari ini, tidak ada pernyataan resmi dari kepolisian Bali. AMP belum melapor, bukan karena takut, tapi karena mereka sudah terlalu sering menyaksikan ketidakseriusan aparat dalam menangani kasus kekerasan terhadap aktivis Papua. Diamnya institusi hukum memperkuat pesan teror: di negeri ini, nyawa dan suara orang Papua tidak bernilai sama.

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengecam keras kejadian ini. Menurutnya, teror terhadap mahasiswa Papua adalah bukti nyata bahwa ruang demokrasi di Indonesia terus menyempit, terutama bagi mereka yang dianggap ‘berbeda’ atau ‘menyulitkan’. “Ketika penguasa merasa terganggu oleh suara-suara kritis, mereka membiarkan kekerasan dan intimidasi menjadi bahasa politik baru,” tegas Usman.

Yang membuat kejadian ini semakin mengkhawatirkan adalah fakta bahwa ini bukan kejadian tunggal. Sebelumnya, aktivis lingkungan Delima Silalahi di Toba menerima bangkai burung berdarah. Jurnalis Tempo dikirimi kepala babi dan tikus mati. Ada pola yang mulai terlihat jelas: siapa yang kritis, akan diteror.

Namun mahasiswa Papua menolak tunduk. Teror itu, bagi mereka, bukan akhir. Justru itu menjadi pengingat bahwa perjuangan mereka menyentuh sesuatu yang penting dan karena itulah kekuasaan mulai merasa terganggu.

“Kami tidak akan diam. Kepala babi bisa membusuk, tapi suara kami tidak akan padam,” ujar Jeeno dengan tenang namun tegas.

Aliansi Mahasiswa Papua menyerukan solidaritas nasional. Kepada organisasi masyarakat sipil, gereja, media, dan publik luas, mereka meminta satu hal: jangan biarkan ancaman ini jadi normal. Jangan biarkan intimidasi jadi bahasa baru untuk membungkam suara dari pinggiran.

Karena jika teror semacam ini dibiarkan, bukan hanya mahasiswa Papua yang akan menjadi korban. Kita semua bisa jadi target berikutnya, hanya karena berani berkata "tidak". (SR/NA)

 

Sumber:  Tribun-Papua.com, “(Teror, Mahasiswa Papuan di Denpasar Bali Dikirimi Paket Isi Kepala Babi Busuk)”; Tempo, “(Aliansi Mahasiswa Papua di Bali Dikirimi Kepala Babi Busuk)”

 

 

Share this article
The link has been copied!