Rehabilitasi Harimau Jadi Ajang Breeding Eksploitasi?

Dalam diskusi mengenai rehabilitasi harimau, banyak pihak yang sepakat bahwa upaya ini harus difokuskan pada pengembalian marwah harimau sebagai predator sejati. Tomi Ariyanto, seorang aktivis lingkungan, menekankan pentingnya pendekatan yang lebih holistik dalam penanganan konflik antara harimau dan manusia. Menurutnya, pemerintah pusat dan daerah, serta masyarakat lokal, harus sama-sama terlibat dalam merancang metode rehabilitasi yang efektif dan berkelanjutan.
Lewat usahanya, Tomi ingin menegaskan bahwa suaka bagi harimau seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai tempat penangkaran atau pembiakan. Ide dasar dari suaka adalah memberikan kesempatan bagi harimau untuk rehabilitasi fisik dan perilaku sebelum akhirnya dilepasliarkan ke habitat aslinya. Ini bukan sekadar pemeliharaan, tetapi lebih dari itu, sebuah tanggung jawab untuk merestorasi ekosistem yang terganggu.
Sementara itu, isu yang muncul dari keberadaan dua anakan harimau di pusat rehabilitasi di Barumun menjadi sorotan. Kelahiran mereka seharusnya tidak hanya dianggap sebagai berita baik, tetapi menimbulkan pertanyaan kritis tentang apakah tempat ini memang ideal untuk berkembang biaknya harimau. Harimau yang dilahirkan dalam kondisi eksitu sering tidak siap untuk kembali ke hutan, dan peluang mereka untuk bertahan hidup di alam liar setelah dilepas sangat kecil.
Tomi menyatakan bahwa selama ini, kebanyakan harimau yang masuk ke pusat rehabilitasi sebenarnya adalah hasil dari interaksi negatif dengan manusia. Kelahiran harimau di tempat rehabilitasi seharusnya menjadi evaluasi mendalam mengenai tujuan dan metode rehabilitasi yang diterapkan. “Rehabilitasi bukanlah tempat breeding,” tegasnya, menambahkan bahwa upaya untuk memperbanyak harimau tidak seharusnya diarahkan di tempat yang jauh dari habitat sebenarnya.
Pengalaman menunjukkan bahwa saat harimau lahir di eksitu, mereka menghadapi risiko yang lebih tinggi saat dilepaskan kembali ke habitat alaminya. Kelangkaan kasus di mana harimau hasil penangkaran dapat beradaptasi dengan baik di alam liar membuat setiap kelahiran di tempat tersebut menjadi sebuah tawaran yang sangat riskan. Tomi menambahkan bahwa pemerintah sering kali hanya melihat dari sudut pandang angka, tanpa mempertimbangkan kualitas individu harimau yang dilepas.
Saat dua bayi harimau lahir di Barumun pada Januari lalu, publik dihadapkan pada sebuah situasi yang paradox. Sumber yang tidak dapat diandalkan dari pasangan harimau Monang dan Gadis, keduanya merupakan korban konflik manusia dengan satwa liar, betul-betul menimbulkan dilema. Harimau yang seharusnya diberikan kesempatan untuk kembali ke ekosistem mereka malah terperangkap dalam sebuah siklus yang berpotensi mengakibatkan kehilangan identitasnya sebagai predator.
Penting untuk dicatat bahwa tidak ada metodologi yang jelas dan terukur mengenai bagaimana menilai kesiapan harimau untuk dilepas ke alam liar. Tanpa adanya rencana yang jelas dan terstruktur, upaya untuk mengembalikan harimau ke habitat aslinya akan menjadi usaha yang sia-sia. Ketiadaan pengayaan populasi dan metode assessment yang efektif membuat situasi ini semakin rumit.
Ketika reproduksi terjadi secara eksitu, hancurlah harapan untuk mengembalikan naluri harimau yang sesungguhnya. Aktivitas perkawinan yang tidak direncanakan ini terjadi di tengah usaha pengembalian naluri berburu mereka. Harimau memang dikenal sebagai mamalia yang kuat dan mampu beradaptasi, tetapi situasi yang dialami mereka dalam kandang rehabilitasi secara nyata tidak mendukung kemampuan tersebut.
Berbagai permasalahan ini semakin mempertegas bahwa kita perlu menjaga harmoni antara manusia dan harimau. Eksistensi harimau di luar hutan bukan hanya ancaman bagi ekosistem, tetapi juga tantangan bagi keseimbangan biomassa di alam. Ketika harimau terjebak dalam siklus penangkaran, kita tidak hanya kehilangan satu spesies, tetapi juga masa depan yang berkelanjutan bagi ekosistem yang telah ada selama ribuan tahun.
Seruan untuk lebih peduli terhadap pelestarian satwa liar tidak bisa hanya menjadi slogan kosong. Kehadiran anak-anak harimau di rehabilitasi harus memicu rasa tanggung jawab kolektif kita. “Kami berharap kehadiran Nunuk dan Ninik dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk lebih peduli terhadap pelestarian satwa liar,” ujar Tomi dengan tegas. Peran aktif masyarakat untuk mengawasi kebijakan dan praktek rehabilitasi menjadi sangat penting agar harimau tidak lagi terjebak dalam siklus yang menyedihkan.
Dalam konteks ini, kita dihadapkan pada tantangan untuk merumuskan pendekatan baru dalam konservasi yang tidak hanya mengandalkan pada penangkaran, tetapi juga pada pendidikan, keterlibatan masyarakat, dan restorasi habitat. Untuk itu, berbagai elemen dalam ekosistem pelestarian harus dilibatkan, demi mencapai tujuan jangka panjang dalam melindungi harimau dan habitatnya di alam liar.
Kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem harus ditanamkan sejak awal. Pendidikan dan kesadaran masyarakat mengenai nilai dan peran harimau dalam ekosistem sangat penting dilakukan. Tanpa pemahaman dan dukungan dari masyarakat, bukan tidak mungkin berbagai usaha konservasi akan menuai kegagalan. Dengan demikian, kita sama-sama memiliki tanggung jawab untuk menjaga harimau agar tetap hidup dan berfungsi dengan baik di alam bebas, bukan hanya di dalam kandang rehabilitasi.