

SAREKATRAKYAT.COM- Indonesia kembali dihadapkan pada paradoks besar antara ambisi ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Di tengah hilirisasi nikel sebagai bagian dari transisi energi nasional, kawasan Raja Ampat ikon pariwisata dunia dan rumah bagi keanekaragaman hayati laut tertinggi justru terancam rusak akibat aktivitas pertambangan nikel. Greenpeace Indonesia bersama empat pemuda asal Papua melakukan aksi damai saat Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Jakarta pada 3 Juni 2025, menyoroti kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas tambang di Raja Ampat. Dalam aksi tersebut, spanduk bertuliskan “What’s the True Cost of Your Nickel?” dan “Nickel Mines Destroy Lives” menjadi pengingat keras atas dampak yang ditanggung masyarakat dan lingkungan.
Greenpeace menyebutkan bahwa aktivitas tambang nikel telah menyasar pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran yang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 sebenarnya tidak boleh dijadikan wilayah pertambangan. Analisis organisasi lingkungan itu mencatat bahwa lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami telah dibabat habis. Dampaknya, limpasan tanah menyebabkan sedimentasi yang mengancam terumbu karang dan ekosistem laut. Ancaman semakin nyata ketika perusahaan tambang mulai merambah Pulau Manyaifun dan Batang Pele dua pulau kecil hanya 30 kilometer dari Piaynemo, ikon Raja Ampat yang bahkan tergambar di uang pecahan Rp100.000.
Aliansi Jaga Alam Raja Ampat (ALJARA) melaporkan bahwa tambang nikel milik PT Mulia Raymond Perkasa yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 2.194 hektare telah menciptakan kerusakan ekologis dan konflik sosial. Di kampung-kampung seperti Manyaifun dan Batang Pele, warga kehilangan ruang hidup, terumbu karang tertutup lumpur, dan ekosistem mangrove benteng alami terhadap perubahan iklim terancam rusak. Bagi masyarakat pesisir, yang selama ini menggantungkan hidup pada laut dan pariwisata, tambang nikel bukan hanya merampas alam mereka, tetapi juga masa depan ekonomi yang lestari.
Sementara itu, protes masyarakat terhadap tambang nikel di Raja Ampat juga mendapat perhatian dari kalangan legislatif. Ketua Komisi VIII DPR RI, Evita Nursanty, menegaskan bahwa Raja Ampat adalah kawasan yang harus dilindungi, bukan dikorbankan. Ia menilai bahwa keindahan dan kekayaan hayati Raja Ampat memiliki nilai jangka panjang yang jauh lebih besar daripada keuntungan sesaat dari tambang.
Aksi protes juga menarik perhatian wisatawan asing yang kebetulan berada di Raja Ampat dan ikut menyuarakan penolakan. Kepolisian setempat mencatat keterlibatan beberapa WNA dan melaporkannya ke pihak imigrasi. Meski demikian, aksi damai tersebut berjalan tertib dan mencerminkan besarnya perhatian masyarakat lokal dan internasional terhadap keberlangsungan ekosistem Raja Ampat.
Pernyataan Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno yang menyebut aksi protes sebagai “hal biasa” menuai tanggapan beragam. Meski ia menyatakan bahwa penambangan harus dilakukan secara “environmentally friendly dan socially responsible,” para aktivis menilai bahwa kenyataan di lapangan justru bertolak belakang. Greenpeace menekankan bahwa hilirisasi nikel saat ini masih bergantung pada energi kotor seperti batu bara dan menyebabkan kerusakan ekologis yang dalam.
Lebih dari sekadar masalah lingkungan, eksploitasi tambang di Raja Ampat telah mengubah wajah kehidupan sosial masyarakat adat Papua. Konflik antarwarga muncul, akses terhadap pangan terganggu, dan nilai-nilai budaya yang selama ini berpijak pada harmoni dengan alam mulai tergerus. ALJARA menuntut pemerintah segera mencabut seluruh IUP di wilayah tersebut dan menghentikan segala bentuk aktivitas eksplorasi dan eksploitasi. Mereka juga menyerukan evaluasi mendalam terhadap kebijakan nasional terkait pertambangan di kawasan konservasi dan pulau kecil.
Dalam konteks global, Raja Ampat bukan sekadar wilayah administratif Indonesia. Ia adalah geopark dunia yang diakui UNESCO, rumah bagi 75 persen spesies terumbu karang global, lebih dari 1.500 spesies ikan, serta komunitas-komunitas adat yang telah hidup berdampingan secara berkelanjutan dengan alam selama ratusan tahun. Jika eksploitasi ini terus berlanjut, maka kerusakan yang terjadi bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga kehilangan yang dirasakan dunia.
Kini, keputusan ada di tangan negara. Apakah memilih mengejar investasi jangka pendek yang berisiko merusak ekologis, atau berkomitmen menjaga Raja Ampat sebagai warisan generasi masa depan dan simbol kepemimpinan lingkungan global? Suara rakyat sudah jelas. Alam Papua telah memberi banyak dan sekarang saatnya negara membalasnya dengan perlindungan yang nyata.
Type above and press Enter to search.
Type above and press Enter to search.