Nasib Tragis Orangutan Terancam Perburuan dan Kehidupan Hutan

Pulau ini tidak hanya sekadar tempat perlindungan bagi orangutan yang terpaksa menjauh dari habitat aslinya, tetapi juga berfungsi sebagai pusat edukasi yang berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi orangutan dan lingkungan mereka. Ricko Layno Jaya, Manajer Konservasi di Orangutan Haven, menegaskan bahwa Leuser, orangutan yang menjadi sorotan kita, sebenarnya adalah makhluk liar yang terperangkap oleh keserakahan manusia.
Dalam kisahnya yang penuh haru, Leuser dibawa ke Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orangutan Sumatera di Batu Mbelin, Sibolangit, Provinsi Sumatera Utara. Saat menjalani perawatan, tubuhnya ditemukan bersarang dengan tak kurang dari 74 butir peluru senapan! Sebuah representasi mengerikan dari kekejaman yang diarahkan kepada makhluk hidup. Pada bulan Desember 2004, setelah dianggap pulih, Leuser akhirnya dilepaskan kembali ke alaminya di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Provinsi Jambi.
Namun, kita harus ingat bahwa Leuser diambil dari tempat kelahirannya yang seharusnya, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), sebuah tempat yang kaya akan keanekaragaman hayati. Sebelum diselamatkan dari jaringan kejahatan, Leuser ditangkap oleh pemburu kejam pada 20 Februari 2004, ketika hendak diselundupkan ke Jakarta dari Aceh. Kejadian ini menunjukkan betapa rentannya kehidupan orangutan muda yang seharusnya masih berada di bawah perlindungan induknya.
“Anak orangutan yang usianya kurang dari tujuh tahun biasanya masih disapih oleh induknya,” ungkap Ricko. Namun, Leuser, yang pada saat itu baru berusia tujuh tahun, dipaksa menghadapi dunia yang penuh kekerasan. Di tubuhnya, hanya 15 peluru yang bisa dikeluarkan, sementara 62 peluru lainnya masih bersarang—beberapa terperangkap di paru-parunya, yang akhirnya mengganggu kemampuan melihatnya.
Para tenaga medis mendapati kondisi Leuser sangat menyedihkan. “Hanya peluru yang menembus permukaan kulit yang dikeluarkan. Kami sangat khawatir, bekas luka operasi ini bisa menjadi pintu masuk bagi infeksi yang bisa membahayakan nyawanya,” jelas Yenny Saraswati, mantan Manajer Karantina dan Veterinari Senior SOCP. Sayangnya, kerusakan yang dialami Leuser menyebabkan dia tidak dapat dikembalikan ke habitat alami.
Orangutan Haven kini menjadi harapan baru bagi Leuser—serta orangutan lain yang tidak mampu kembali ke hutan. Dengan matanya yang mengalami kerusakan permanen, Leuser terpaksa menjalani kehidupan dalam kandang. Situasi yang tragis, menggambarkan dampak langsung dari konflik antara manusia dan satwa liar. Leuser, seperti Hope dan anaknya, adalah contoh nyata dari apa yang terjadi ketika manusia tidak menunjukkan empati terhadap makhluk lain.
“Saya hanya bisa membayangkan jika hal serupa terjadi pada kita atau keluarga kita sendiri,” ungkap Ricko, mencerminkan kesedihan yang mendalam atas nasib Leuser. Berada dalam kandang sepanjang hari akibat kebutaan, orangutan ini harus bergelut dengan nasib yang tragis. Di sisi lain, berita tentang penyelamatan orangutan terus muncul, seperti tindakan tim penyelamat yang mengevakuasi Paguh, seekor orangutan jantan di Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, pada November 2019, dan individu lainnya pada September 2020.
“Nasib orangutan Sumatera di habitat alaminya tidak dalam kondisi baik,” ujar Syafrizaldi, Direktur Eksekutif YOSL – OIC. Ia menyoroti masih maraknya kegiatan ilegal yang mengancam keberadaan orangutan serta pengrusakan habitat yang terus berlanjut. Tidak ada jalan keluar lain: konflik antara manusia dengan orangutan tetap berlanjut. Tim YOSL – OIC terus berjuang untuk menyelamatkan para penghuni hutan ini dari ancaman yang terus mengganggu.
Seiring dengan itu, YOSL-OIC bersama lembaga lain berkomitmen untuk mencegah kegiatan ilegal yang mengancam orangutan Sumatera. “Kami juga mengupayakan restorasi habitat serta pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar, sebuah langkah penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem ini,” tegas Syafrizaldi.
Proyeksi masa depan sangat mencemaskan. Data terbaru menunjukkan kerugian tutupan hutan yang dramatis, dengan laporan bahwa pada tahun 2024, Aceh kehilangan 10.610 hektar hutan. Jika kita lihat lebih jauh, Aceh Selatan merupakan penyumbang terbesar kerugian ini, dengan 1.357 hektar hilang dalam tiga tahun terakhir. Hutan Kawasan Ekosistem Leuser, yang merupakan habitat utama bagi orangutan, semakin menyusut.
Di tengah krisis lingkungan ini, Indonesia berupaya melakukan transisi energi yang signifikan. Meskipun pemerintah mengklaim berkomitmen untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan beralih ke energi terbarukan, banyak laporan investigasi, termasuk dari Mongabay, menunjukkan bahwa upaya ini sering kali berarti penggundulan hutan demi membuat kebun energi.
Pilihannya tak bisa lebih jelas: kita berhadapan dengan sebuah keadaan darurat yang mengancam kelangsungan hidup orangutan serta biodiversitas yang lebih luas. Saat kita berbicara tentang konservasi, saatnya kita bertindak dan menunjukkan bahwa kita tidak akan membiarkan hal ini terus berlanjut. Orangutan adalah lambang dari keberagaman hayati, dan kini lebih dari sebelumnya, mereka membutuhkan pembelaan kita. Mungkin sudah waktunya bagi kita untuk memilih apa yang benar dan bukan sekadar meratapi nasib yang mereka hadapi.