Pada 5 Juni 2025, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengumumkan penghentian sementara aktivitas tambang nikel PT Gag di Pulau Gag, Raja Ampat. Langkah ini memang disambut sebagai kemenangan sementara oleh aktivis dan masyarakat sipil yang sudah lama mendesak agar kerusakan lingkungan di kawasan super prioritas ini dihentikan. Tapi, apa sebenarnya yang sedang terjadi? Apakah pemerintah benar-benar serius melindungi Raja Ampat, ataukah ini hanya sandiwara demi menenangkan publik yang mulai marah?

PT Gag Nikel, anak perusahaan BUMN PT Antam, sudah mengeksploitasi wilayah seluas 13.136 hektare sejak 2018, sebuah area yang menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tidak seharusnya menjadi sasaran tambang. Bukti-bukti dari Greenpeace Indonesia menunjukkan kerusakan hutan seluas lebih dari 500 hektare dan limpasan tanah yang mengancam terumbu karang, keajaiban bawah laut yang menjadi identitas Raja Ampat. Tapi izin dan AMDAL sudah ada, jadi siapa yang sebenarnya bertanggung jawab? Pemerintah yang mengeluarkan izin, atau perusahaan yang mengabaikan lingkungan?

Penghentian sementara ini datang terlambat, setelah kerusakan sudah terjadi dan protes mulai membahana di media sosial. Ini bukan soal “verifikasi lapangan” yang dilakukan Kementerian ESDM, tapi soal akuntabilitas dan transparansi yang sudah lama hilang. Mengapa izin tambang bisa diterbitkan untuk kawasan yang seharusnya terlindungi? Mengapa perusahaan milik negara boleh melakukan perusakan lingkungan atas nama “pembangunan”?

Bahlil bahkan harus membela diri dengan mengklaim bahwa banyak gambar tambang yang viral bukan dari Pulau Gag. Ini bukti ada upaya menyembunyikan fakta atau sekadar alibi agar publik lupa bahwa kerusakan nyata sedang berlangsung. Raja Ampat bukan hanya destinasi wisata, tapi jantung keanekaragaman hayati dunia yang tidak bisa diperdagangkan begitu saja.

Ancaman yang sudah terjadi di Halmahera, Wawonii, dan Kabaena harusnya jadi pelajaran. Tapi pemerintah seperti memilih mengulangi kesalahan yang sama, dan rakyat hanya bisa menunggu tindakan konkret yang nyatanya tak kunjung datang. Apakah Raja Ampat akan berakhir seperti daerah-daerah itu dirusak demi keuntungan sesaat.

Penghentian sementara tanpa tindakan tegas dan audit independen hanyalah basa-basi. Pemerintah harus membuka mata bahwa masa depan ekologis dan keberlanjutan ekonomi masyarakat lokal di Raja Ampat tidak bisa dijadikan taruhan. Jika tidak, penghentian ini hanyalah tameng tipis untuk mempertahankan bisnis tambang yang rakus dan mengorbankan warisan alam Indonesia.

Sudah waktunya publik menuntut bukan hanya penghentian sementara, tapi penghentian permanen dan evaluasi menyeluruh atas kebijakan pertambangan di kawasan konservasi. Raja Ampat bukan komoditas, ia adalah kehidupan yang harus dijaga dengan sungguh-sungguh, bukan dieksploitasi oleh kepentingan ekonomi sempit. (SR/NA)

Sumber: Kumparan Bisnis, “(Bahlil Hentikan Sementara Izin Operasi Perusahaan Tambang Nikel di Raja Ampat)”; Tirto.id, “(Seskab Langsung Hubungi Bahlil & Hanif Atasi Masalah Raja Ampat)”; Tempo, “(Bahlil Hentikan Sementara Aktivitas Pertambangan Nikel di Raja Ampat)”

Share this article
The link has been copied!