SAREKATRAKYAT– Ketika Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menginjakkan kaki di Pulau Gag, Raja Ampat, ia disambut dengan spanduk bertuliskan “Jangan Tutup Tambang Kami.” Warga setempat yang kini kehilangan sumber penghidupan setelah tambang dihentikan sementara berteriak lantang, meyakinkan bahwa alam mereka baik-baik saja. "Laut kami bersih, ikan kami tetap banyak, langit kami biru," kata Friska, warga setempat, menepis kabar kerusakan sebagai sekadar hoaks.

Tapi di sisi lain, langit cerah Pulau Gag justru menjadi latar dari kecamuk yang jauh lebih kelam. Greenpeace Indonesia melaporkan kerusakan lebih dari 500 hektare hutan akibat tambang nikel. Sedimentasi pesisir mengancam terumbu karang. Dan yang lebih parah lagi aktivitas tambang ini diduga menyalahi hukum, karena dilakukan di pulau kecil yang sejatinya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.

Menteri Bahlil mencoba menyeimbangkan narasi. Ia menyebut izin tambang keluar sebelum masa jabatannya, dan bahwa tambang tidak berada di jantung kawasan wisata Raja Ampat. Namun laporan di lapangan dan dokumentasi udara justru menunjukkan bahwa jarak bukan jaminan, karena limpasan tanah dan degradasi ekosistem tak mengenal batas administratif.

Pemerintah pusat kini terlihat gamang. Di satu sisi, suara warga yang menggantungkan hidup pada tambang jadi dalih bahwa penghentian operasi menyakiti ekonomi lokal. Di sisi lain, tekanan publik, aktivis lingkungan, dan lembaga legislatif menuntut penutupan permanen. Menteri Lingkungan Hidup bahkan menyegel lokasi dan berjanji mencabut izin dua perusahaan.

Pertanyaannya kini: apakah "transisi energi hijau" yang selama ini diagung-agungkan pemerintah benar-benar berwujud keberlanjutan? Ataukah hanya mengganti satu bentuk perusakan dengan yang lebih tersembunyi atas nama nikel, baterai, dan hilirisasi?

Raja Ampat, rumah bagi 75 persen spesies karang dunia dan lebih dari 2.500 jenis ikan, bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah simbol keutuhan ekologi Nusantara. Jika tambang dibiarkan terus menjalar di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran, maka “surga terakhir di Bumi” mungkin hanya akan tinggal nama—tercatat dalam arsip berita dan laporan aktivis.

Pertarungan ini belum selesai. Tapi satu hal sudah jelas: masa depan Raja Ampat sedang ditambang, sedikit demi sedikit. (SR/NA)

Sumber: RRI.CO.ID, “(Bahlil Tinjau GAG Nikel, Warga Minta Lanjut)”; Tempo, “(Tambang Nikel di Raja Ampat: Bahlil Bilang Jauh dari Piaynemo, Hanif Tegaskan Pulau kecil)”; Era. Id, “Potret Wajah Pulau Gag Raja Ampat yang Berantakan karena Tambang Nikel

 

 

 

 

 

Share this article
The link has been copied!