Polisi Bela Perusahaan Hancurkan Ruang Hidup Warga

Unveiling the Crisis of Plastic Pollution: Analyzing Its Profound Impact on the Environment

Dalam suatu peristiwa yang mencolok, aksi pembelaan warga di Maba Sangaji menghadapi kerasnya penegakan hukum yang tampaknya lebih berpihak pada kepentingan perusahaan ketimbang suara dan hak masyarakat lokal. Amin, seorang tokoh masyarakat di lokasi, dengan lugas menyampaikan, “Keberpihakan polisi ini mempertegas bahwa mereka lebih memilih mendukung perusahaan yang berkuasa, meninggalkan warga yang tak lebih dari sekadar berjuang untuk mempertahankan hak hidup mereka.”

Bukan hanya itu, keberanian perusahaan untuk memulai aktivitas penambangan tanpa sepengetahuan dan persetujuan warga serta pemerintah desa menunjukkan sebuah sikap yang mengabaikan norma dan hak asasi manusia. “Ini memperlihatkan betapa jelasnya sikap polisi yang mendukung pihak perusahaan dan tidak berusaha menyelesaikan masalah yang ada terkait tanah adat di Maba Sangaji,” tegas Amin.

Aksi penyerobotan lahan ini pun mencuat ketika warga menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana aktivitas perusahaan mulai mengganggu dan merusak hutan serta kebun mereka. Selain expansion yang merusak, perusahaan dengan berani hanya menawarkan kompensasi yang sangat minim, yakni Rp2.500 per meter persegi. Adakah orang yang mau menerima tawaran asuh seperti itu ketika sawah, kebun, dan hutan yang menjadi tumpuan kehidupan sudah terancam?

Meskipun usaha untuk berkomunikasi dengan pihak perusahaan telah dilakukan, tidak ada tanggapan berarti yang diterima. THN, yang merupakan bagian dari entitas yang lebih besar yaitu PT Harum Energy Tbk, dikuasai oleh Kiki Barki, sosok yang berada di posisi 33 orang terkaya Indonesia versi Forbes 2023. Hal ini semakin menunjukkan ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat yang terpinggirkan.

Alih-alih mencapai sebuah kesepakatan yang adil, pihak kepolisian justru menuduh warga menghalangi aktivitas tambang. Hutan yang mereka hancurkan adalah hutan pala yang merupakan sumber kehidupan bagi kami, ungkap Amin dengan nada menggebu. “Sungai kecil dan besar pun ikut mengalami kerusakan karena aktivitas mereka.” Tak peduli dengan penolakan warga, perusahaan terus melanjutkan operasionalnya.

Aksi warga yang menghadapi penangkapan ini menciptakan suasana yang tegang. Kini, mereka dituduh dengan berbagai pasal hukum yang seolah menggambarkan mereka sebagai penjahat, padahal mereka hanya berjuang untuk mempertahankan tanah dan hutan yang menjadi warisan nenek moyang mereka. “Kami hanya memperjuangkan hak kami atas tanah ulayat yang telah kami huni dan kelola,” ungkap Amin dengan penuh rasa tegas.

Fenomena ini menunjukkan sebuah gambaran nyata dari pertentangan antara masyarakat adat yang berjuang dan perusahaan besar yang beroperasi dengan bantuan aparat. “Apa yang dilakukan perusahaan adalah murni tindakan ilegal yang jelas melanggar hak masyarakat,” sambung Amin dengan intensitas suara yang semakin menggelora.

Berita mengenai dugaan penganiayaan terhadap warga pun mencuat ketika beberapa dari mereka mengalami tindakan kekerasan saat pemeriksaan. Ini menambah deretan panjang pelanggaran yang dialami oleh masyarakat yang hanya ingin mendapatkan keadilan dan perlindungan untuk tanah adat mereka.

Warga Desa Maba Sangaji semakin berani bersuara, bahkan dengan duduk di depan markas Polda Maluku Utara pada tanggal 19 Mei 2025. Mereka menuntut kebebasan bagi 11 warga yang ditetapkan sebagai tersangka akibat tuntutan dari perusahaan. “Kenapa suara kami tidak didengar? Kami hanya memperjuangkan hak kami, bukan kriminal,” seru Amin.

Melihat fakta bahwa izin usaha tambang yang didapat oleh PT Position seluas 4.017 hektar justru menciptakan ancaman bagi kehidupan warga, pertanyaan besar pun muncul: di mana peran pemerintah dalam menjaga hak atas tanah masyarakat? “Bupati Haltim, Ubaid Yakub, tampaknya tidak memberikan perhatian serius terhadap masalah ini,” tambah Amin, mengindikasikan frustrasi mendalam terhadap sikap pemerintah daerah.

Situasi semakin memperburuk ketika pengacara dari warga, Anto Yunus, mengkritik sikap Polda Maluku Utara yang seolah tidak peduli akan pelanggaran hak asasi manusia. “Alih-alih mengkonfirmasi tindakan penyerobotan yang dilakukan, mereka malah seakan mau menutupi pelanggaran ini dengan penganiayaan kepada warga,” ucapnya dengan nada penuh kemarahan.

Wajar jika warga merasa marah dan tertekan. Dengan segala keadaan yang mereka hadapi, segala upaya untuk mempertahankan tanah mereka berpotensi berujung pada tindakan kriminalisasi. Ketidakadilan demi keuntungan perusahaan harus segera diakhiri. Rasa solidaritas antara warga menjadi satu-satunya harapan untuk menghadapi kekuatan yang lebih besar.

Sementara itu, di media sosial, protes dan dukungan terhadap perjuangan warga Maba Sangaji semakin meluas. Mereka yang terpinggirkan mulai mendapat perhatian, meskipun harapan untuk mendapatkan keadilan terlihat semakin jauh. Tak ada kata mundur bagi mereka yang berani memperjuangkan hak-hak dasar, bahkan jika harus berhadapan dengan aparat hukum yang seharusnya melindungi mereka.

Ketika perusahaan melanjutkan ruangan pertambangan dan merusak tempat tinggal masyarakat, pertanyaan itu tetap membara: Siapa yang akan bertanggung jawab? Izin usaha pertambangan seharusnya tidak hanya menjadi dokumen, tetapi menjadi jaminan atas keberlanjutan hidup masyarakat lokal yang telah ada jauh sebelum keberadaan perusahaan.

Apakah ada jalan keluar dari kebuntuan ini? Dengan semangat pantang menyerah, masyarakat Maba Sangaji bertekad untuk terus berjuang hingga suara mereka didengar dan hak mereka diakui. Inilah borok yang harus diselesaikan oleh sepanjang sejarah kehidupan masyarakat adat di Indonesia - melawan perusahaan besar yang terus menerus menebar ancaman dan ketidakadilan. Keadilan sesungguhnya adalah harga yang pantas untuk diperjuangkan.

Type above and press Enter to search.