SAREKATRAKYAT.COM- Kita sepertinya perlu belajar lebih dalam dan mempertanyakan mengapa orang-orang yang ditindas sering kali tidak melawan atau memberontak. Kita mungkin saja pernah melihat bagaimana buruh dieksploitasi, di mana mereka harus bekerja setiap hari melebihi jam kerja, dengan gaji yang sebenarnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Atau mungkin saja kita pernah melihat bagaimana negara tidak hadir dalam kehidupan kaum miskin di perkotaan seperti pengemis, pemulung, dan gelandangan yang kehidupannya sangat mengenaskan.

Pernahkah kita berpikir, bagaimana seandainya kaum lemah dan tertindas di negeri ini tiba-tiba melawan dan melakukan pemberontakan?

Mengapa Kaum Tertindas Tidak Melawan

Antonio Gramsci, seorang tokoh politik asal Italia telah menjelaskan hal ini dalam teori hegemoni. Menurutnya, ketertindasan tidak serta-merta menimbulkan perlawanan. Alasannya karena negara dan kaum pemodal (kapitalis) telah berhasil melakukan hegemoni.Hegemoni adalah bentuk penguasaan secara moral dan intelektual kepada mereka yang dikuasai, di mana norma-norma sosial yang dibentuk oleh penguasa telah tertanam dalam alam bawah sadar masyarakat.

Maka, meskipun mereka mengalami kemiskinan ekstrim, mereka tidak akan melawan apalagi bersatu melakukan revolusi. Hal ini bukan semata-mata karena masalah ekonomi saja, tapi cengkraman kekuasaan telah membentuk budaya yang berjalan perlahan namun sangat mengakar.

Bentuk penindasan seperti ini dilakukan lewat institusi sekolah, gereja,masjid, organisasi atau bahkan partai politik sekalipun. 

Institusi-institusi itu cendrung melanggengkan budaya penindasan dan tidak sama sekali mendorong anggotanya untuk berpikir kritis.

Insititusi itu mencekoki anggotanya dengan omong kosong, dengan kebohongan dan dengan narasi-narasi palsu.

Akhirnya penguasa mampu menciptakan suatu bentuk kesadaran palsu, kesadaran yang mendorong masyarakat mengakui kejahatan negara sebagai kebenaran yang normal, dan menganggap penderitaan sebagai takdir.

Hegemoni yang dilakukan oleh negara tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Kita, sebagai generasi muda, harus turut mendorong terciptanya kesadaran kritis, atau yang paling minimal, kita perlu menanamkan rasa ”curiga” pada setiap apa yang dilakukan negara atau agen-agen kekuasaan lainnya. Inilah yang disebut oleh Gramsci sebagai counter-hegomoni akar rumput: menolak tunduk pada budaya penguasa.

Saatnya Intelektual Turun dari Menara Gading

Kaum intelektual seharusnya bertanggung jawab atas hegemoni yang dihadapi oleh masyarakat. Kaum intelektual tidak boleh hanya tinggal diam, patuh, dan sibuk pada dunianya sendiri.

Namun, kebanyakan dari mereka yang disebut ”Kaum Intelektual” tidak turun ke basis masyarakat,mereka hanya mengoleksi bacaan dan teori-teori demi kepentingan pribadi, bukan untuk perubahan sosial.

Hal ini membuat ilmu pengetahuan hanya terkurung di dalam tembok-tembok kampus, hanya menjadi menara gading yang tak pernah menyentuh realitas.

Intelektual seperti ini disebut Gramsci sebagai intelektual tradisional. Sementara yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan adalah Intelektual organik. Yaitu mereka yang dengan senang hati turun langsung ke basis masyarakat untuk menyelesaikan persoalan nyata.

Intelektual organik tidak hanya sibuk pada perkara jurnal ilmiah, atau tugas kampus. Mereka berani mengambil resiko demi kepentingan umat dan bangsa. Mereka bertanggung jawab atas ilmu yang mereka emban, dengan pengabdian penuh  pada masyarakat: menciptakan kesadaran kritis,mendidik dan melakukan perlawanan.

Sekali lagi, mungkin kita perlu merefleksikan: apakah intelektual di negeri ini sudah cukup memberi kontribusi, atau justru ikut melanggengkan kekuasaan yang culas?

Bila memang kaum Intelektual kita hanya diam dan terkurung di kampus-kampus tanpa menciptakan perubahan, maka saatnya perubahan itu hadir dari kita yang membaca, dari kita yang muda, yang memiliki prinsip dan idealisme, serta berkomitmen untuk melakukan perubahan.

Kita harus menjadi Intelektual organik. Kita harus terjun langsung ke basis masyarakat, memahami problem, dan melakukan counter-hegomoni agar mereka yang berkuasa tidak smena-mena terhadap rakyat.Perubahan besar sering kali dimulai dari segelintir orang yang sadar, yang berpikir kritis, yang punya keberanian untuk mendorong dunia ke arah yang lebih adil menuju kemanusiaan yang utuh. (SR/Rizal Tolinggi) 

Share this article
The link has been copied!