

Upaya pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan untuk menulis ulang sejarah nasional Indonesia tengah menjadi polemik publik. Sejak diumumkan awal tahun 2025, proyek ambisius ini memicu gelombang penolakan dari kalangan akademisi, sejarawan, aktivis HAM, hingga tokoh masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI). Mereka menyatakan kekhawatiran atas potensi penyimpangan sejarah demi kepentingan politik dan dominasi tafsir tunggal oleh negara.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut penulisan ulang ini penting dilakukan karena sejarah nasional terakhir ditulis pada era Presiden BJ Habibie, sekitar 26 tahun lalu. Proyek ini disebut sebagai bagian dari “pembaruan narasi sejarah” agar sesuai dengan temuan-temuan arkeologis terbaru dan menjawab kebutuhan pembelajaran masa kini. Sebanyak 113 penulis, 20 editor, dan 3 editor umum dilibatkan, dengan target sepuluh jilid buku sejarah, dari era awal masyarakat Nusantara hingga masa Reformasi 2024. Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp9 miliar dari APBN untuk proyek ini, dan uji publik dijadwalkan antara Juni–Juli 2025.
Namun, di balik urgensi pembaruan tersebut, AKSI menilai proyek ini sarat potensi manipulasi sejarah. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum bersama Komisi X DPR RI pada 19 Mei 2025, AKSI menyuarakan bahwa sejarah bukanlah milik negara semata, melainkan konstruksi kolektif bangsa yang harus ditulis secara adil, terbuka, dan partisipatif. Mereka menolak penulisan sejarah oleh negara yang berpotensi menjadi “sejarah resmi” dan satu-satunya kebenaran. Bagi AKSI, ini bukan saja bertentangan dengan prinsip demokrasi, tapi juga berbahaya bagi memori kolektif bangsa.
“Sejarah tidak boleh menjadi alat legitimasi kekuasaan atau glorifikasi masa lalu tertentu,” ujar Marzuki Darusman, eks Jaksa Agung yang kini menjadi Ketua AKSI.
Dalam Manifesto AKSI, mereka menyebut proyek ini sebagai rekayasa sejarah monumental, mirip praktik propaganda rezim otoriter, yang menyingkirkan suara rakyat, terutama korban pelanggaran HAM di masa lalu. Mereka menuntut agar sejarah ditulis oleh komunitas ilmiah independen, bukan dikendalikan oleh kepentingan politik negara.
Keprihatinan juga disampaikan oleh sejarawan dan arkeolog, termasuk Harry Truman Simanjuntak dan Asvi Warman Adam, yang menyebut istilah “sejarah resmi” berpotensi mengaburkan independensi akademik. Truman mengingatkan bahwa sejarawan, bukan pemerintah, yang memiliki kompetensi menentukan narasi sejarah bangsa.
Meski demikian, Fadli Zon bersikeras tidak ada istilah “sejarah resmi” dalam proyek ini. Ia menyebut buku tersebut akan berjudul “Sejarah Nasional Indonesia”, bukan “versi pemerintah”. Menurutnya, masyarakat terlalu cepat menyimpulkan tanpa menunggu hasil akhir. Ia menyarankan publik untuk berdebat setelah buku rampung, bukan saat masih dalam bentuk draft. “Banyak yang diperdebatkan itu pepesan kosong,” ucapnya di Parlemen, Senin, 26 Mei 2025.
Sementara itu, DPR RI, melalui Komisi X, mengaku belum mendapatkan penjelasan detail dari pemerintah terkait isi maupun proses penulisan sejarah tersebut. Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudin dan anggota lain seperti Mercy Barends bahkan menyatakan belum pernah menerima satu dokumen resmi pun dari Kementerian Kebudayaan. Hal ini menambah kegelisahan publik tentang keterbukaan dan akuntabilitas proyek ini.
Di sisi lain, Pimpinan DPR, termasuk Puan Maharani, menekankan pentingnya pelurusan sejarah tanpa pengaburan. Ia mengingatkan agar tidak ada bagian sejarah, baik pahit maupun kelam, yang dihilangkan. Puan menyitir semboyan Bung Karno, “Jas Merah – jangan sekali-kali melupakan sejarah,” sebagai pengingat bahwa sejarah Indonesia bukan semata deretan keberhasilan, tetapi juga pelajaran dari tragedi.
Sebagai bentuk perlawanan simbolik dan ajakan keterlibatan publik, AKSI meluncurkan petisi daring melalui situs Amnesty International Indonesia, dengan dukungan dari berbagai tokoh seperti Sulistyowati Irianto, Alissa Wahid, Jaleswari Pramodhawardani, Karlina Supelli, Usman Hamid, hingga Martin Suryajaya.
Proyek ini terus berjalan dengan target penyelesaian menjelang 17 Agustus 2025, bertepatan dengan HUT Kemerdekaan RI. Tim penyusun bahkan mengganti istilah "prasejarah" karena dinilai mengandung konotasi inferior, menjadi “sejarah awal Indonesia”, yang dianggap lebih inklusif dan mencerminkan otonomi budaya Nusantara sebelum mengenal tulisan.
Namun, seiring progres penulisan yang kini diklaim sudah mencapai 60–80 persen, tekanan masyarakat sipil pun kian menguat. Penolakan terhadap sejarah tunggal dan tuntutan akan transparansi dan partisipasi publik belum surut.
Kini, Indonesia menghadapi pertanyaan besar: Apakah sejarah akan tetap menjadi cermin jujur bangsa, atau justru berubah menjadi alat kuasa untuk menata narasi sesuai selera rezim yang berkuasa? (SR/NA)
Sumber: Tempo.co, “Aktivis Hingga Akademisi Buka Petisi Tolak Penulisan Sejarah, ini Tautanya”; Can.id, “Mengapa para aktivis menolak penulisan ulang sejarah yang memakan anggaran Rp9 miliar?”; KumparanNews, “Menbud Pastikan Hasil Penulisan Ulang Sejarah Tak Dilabeli”; Kompas.com, “Penulisan ulang Sejarah Nasional: Ditolak Koalisi Masyarakat Sipil dan Pesan Pimpinan DPR”.
Type above and press Enter to search.
Type above and press Enter to search.