Nyawa Terenggut Tambang Ilegal Kemiskinan Makin Menghimpit

Di tengah hiruk pikuk pertambangan dan perkebunan sawit, masyarakat lokal terjebak dalam kemiskinan struktural yang memaksa mereka terlibat dalam aktivitas ekstraktif berbahaya. Ironisnya, meskipun mereka adalah penghuni bumi tersebut, praktis tidak ada posisi strategis yang diisi oleh mereka dalam perusahaan-perusahaan yang menguasai lahan subur dan sumber daya alam. Begitu banyak sektor, terutama pertambangan dan perkebunan, mengekploitasi kekayaan alam di provinsi ini tanpa memberi keuntungan signifikan bagi masyarakat setempat.
“Kecelakaan kerja yang kerap terjadi di aktivitas pertambangan tak hanya menjadi bukti kepedihan, tapi juga sebuah panggilan untuk tindakan yang lebih tegas dari pemerintah, baik di pusat maupun daerah,” ungkap seorang aktivis. Realitas tragis muncul saat tambang emas ilegal berkeliaran seperti hantu, membawa serta kemiskinan, kerusakan lingkungan, hingga konflik sosial dan bencana longsor yang menghancurkan nyawa. Hutan yang dulunya lebat kini menjadi saksi bisu kerusakan parah akibat penambangan tidak berizin.
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral mengakui tragedi tersebut terjadi di lokasi pertambangan emas ilegal. Penegakan hukum yang adil sangat diperlukan—termasuk kejelasan mengenai status suatu wilayah sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) atau bukan. Yang lebih menyedihkan, banyak penambang kecil terpaksa berjuang untuk memberi makan keluarga, terjebak dalam kebijakan pemerintah yang sering tumpang tindih dan berpihak pada penambang besar.
Dalam kondisi ini, masyarakat lokal hanya bisa menjadi penonton—bahkan korban—dari pusaran ekonomi ekstraktif yang terjadi di tanah mereka sendiri. “Kami akan terus menentang aktivitas pertambangan ilegal ini,” kata seorang aktivis penuh semangat. Namun sayangnya, longsor yang terjadi tiba-tiba sering kali menimbun area pertambangan, menyapu para penambang yang tengah berjuang.
Penting bagi aparat penegak hukum, KESDM, Polri, dan perwakilan masyarakat untuk duduk bersama dan menyelidiki kasus-kasus kecelakaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa ini. Sebab, jika dilihat dari sudut pandang sosiologis, istilah yang digunakan sering kali merendahkan peran dan posisi masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya alam yang mereka kenal sejak lama.
Pada akhir April 2025, misalnya, tragedi mengerikan terjadi ketika empat penambang emas tewas karena tertimbun longsor di Desa Marapit, Kecamatan Kapuas Tengah, Kalimantan Tengah. Fenomena tambang emas ilegal memang kerap terjadi di provinsi ini, dengan ekspansi besar-besaran dari perkebunan monokultur yang memperparah masalah tersebut. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin di Kalimantan Tengah mencapai 5,17% pada Juli 2024—data ini mencerminkan dampak nyata dari kondisi sosial dan ekonomi yang tidak menguntungkan.
Tata kelola sumber daya alam di Kalimantan Tengah memang memerlukan perhatian serius. Mengingat situasi pasar global yang semakin ketat, di mana harga emas melambung, sulit untuk mengabaikan kenyataan pahit di lapangan. “Banyak orang terpaksa berhubungan dengan aparat keamanan untuk dapat beroperasi di area pertambangan,” tambah seorang analis. Luas perkebunan sawit di Kalteng pada 2023 sudah mencapai 2,196 juta hektar—hampir empat kali luas Pulau Bali—sebuah indikasi yang jelas akan ketergantungan provinsi ini pada sektor pertanian yang tidak berkelanjutan.
Di banyak daerah di Kalimantan Tengah, praktik pertambangan ilegal terus berlangsung. Individu-individu kaya yang hidup di kota sering kali terlibat dalam jaringan aktivitas ilegal ini, memanfaatkan koneksi dengan aparat untuk meraup keuntungan. Istilah 'ilegal' menciptakan stigma yang menahan masyarakat untuk tidak bisa memanfaatkan sumber daya alam mereka secara turun-temurun.
Namun, satu hal yang cukup menjengkelkan adalah fakta bahwa investasi yang masuk tidak menjamin terserapnya tenaga kerja lokal secara maksimal. “Ujung-ujungnya, mereka justru menjadi buruh di tambang,” ungkap seorang dosen sosiologi. Pada 2018, operasi tambang ilegal di Telabang mengungkapkan maraknya praktik pertambangan tanpa izin, yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan pencemaran merkuri di sungai-sungai penting.
Taktik serupa diulang pada 2020, ketika temuan serupa menemukan aktivitas ilegal ini hingga menjalar ke kawasan konservasi Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, di mana sedikitnya 300 alat berat beroperasi. Fenomena tambang ilegal ini sudah menjadi bagian dari 'gold rush,' yang mana aktivitas ini meningkat mendramatik ketika harga emas melambung. Dalam mengejar target produksi, rekrutmen tenaga kerja dilakukan secara serampangan tanpa mempertimbangkan latar belakang atau keamanan pekerja.
Menurut para ahli, kondisi ekonomi global yang semakin tak pasti, ditambah dengan sengketa perdagangan dan kebijakan bank sentral yang beralih dari dolar ke emas batangan, semua menjadi faktor yang mendorong peningkatan aktivitas penambangan.
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk transisi energi, berusaha secara bertahap mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil dan beralih ke energi terbarukan. Namun, dalam praktiknya, transisi ini sering kali menjadikan lahan subur tersisa sebagai lahan kebun energi. “Ironisnya, dalam upaya penyelamatan lingkungan, kita justru menghancurkan alam,” ujar seorang pegiat lingkungan.
Pada akhirnya, kita berhadapan dengan dilema yang mencengangkan: bagaimana menyeimbangkan tuntutan ekonomi dengan keadilan sosial dan perlindungan lingkungan? Tanpa adanya upaya terintegrasi dan kerjasama yang tulus antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan, tragedi di lapangan hanya akan terus berulang, merenggut nyawa dan masa depan generasi mendatang.