

Hadapi Tantangan Serius - Ilustrasi post-truth politics. Saat ini politik Indonesia menghadapi tantangan serius: menguatnya praktik "post-truth", di mana emosi dan keyakinan pribadi sering mengalahkan fakta objektif dalam membentuk opini publik. Foto: net
SAREKATRAKYAT.COM - Dalam era informasi yang semakin kompleks, istilah post-truth politics atau politik pasca-kebenaran semakin sering didengar. Fenomena ini merujuk pada situasi di mana fakta objektif menjadi kurang berpengaruh terhadap opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi. Konsumen berita cenderung lebih mempercayai informasi yang sesuai dengan pandangan mereka sendiri, meskipun bukti yang ada bertentangan dengan keyakinan tersebut.
Perkembangan post-truth politics telah mengakibatkan dampak signifikan pada proses demokrasi. Ketika informasi yang tidak akurat atau bahkan palsu dapat dengan mudah menyebar, kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik dan media mulai menurun. Hal ini menciptakan tantangan bagi sistem demokrasi yang mendasarkan dirinya pada fakta dan argumen rasional.
Selain itu, fenomena ini juga menciptakan polarisasi di kalangan masyarakat. Ketika orang-orang terjebak dalam gelembung informasi sendiri, komunikasi antar kelompok menjadi semakin sulit. Hal ini dapat berujung pada konflik sosial yang lebih besar dan mengancam kohesi masyarakat.
Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk selalu kritis dalam menilai sumber informasi dan memperhatikan keakuratan fakta. Membangun kesadaran akan pentingnya informasi faktual adalah langkah awal untuk mengatasi dampak negatif dari post-truth politics di era demokrasi modern.
Situasi di Indonesia
Di tengah era digital yang serba cepat, politik Indonesia menghadapi tantangan serius: menguatnya praktik "post-truth", di mana emosi dan keyakinan pribadi sering mengalahkan fakta objektif dalam membentuk opini publik. Istilah “post-truth politics” pertama kali populer secara global pada 2016, namun kini gejalanya semakin kentara di tanah air, terutama menjelang tahun-tahun pemilu.
Kasus yang menggambarkan praktik post-truth adalah penyebaran hoaks tentang asal-usul calon presiden tertentu — mulai dari tuduhan sebagai “keturunan asing”, “non-muslim”, hingga “anti-ulama”. Meski telah dibantah dengan bukti hukum dan klarifikasi resmi, isu-isu tersebut tetap berkembang, bahkan dipercaya oleh sebagian masyarakat.
Dengan algoritma yang memperkuat konten viral, media sosial telah menjadi ladang penyebaran informasi palsu yang sulit dikendalikan. Gambar manipulatif, kutipan palsu, dan bahkan video deepfake mulai bermunculan dalam kampanye-kampanye politik.
Contohnya: video seorang pejabat yang tampak "menghina agama", padahal hasil editan. Video itu sempat beredar luas sebelum klarifikasi datang — tapi kerusakan sudah terjadi.
Fenomena ini mendorong pentingnya pendidikan politik berbasis data dan literasi digital sejak dini. Beberapa sekolah dan universitas telah mulai menggunakan game simulasi seperti "Democracy 4" atau modul debat berbasis fakta sebagai metode belajar interaktif.
Para pengamat memperingatkan bahwa post-truth politics berpotensi memecah belah bangsa jika dibiarkan tanpa edukasi yang memadai. Dalam dunia politik yang sehat, opini boleh berbeda, tapi kebenaran tetap harus jadi fondasi. (SR/BM)
Type above and press Enter to search.
Type above and press Enter to search.