Indonesia Terus Gantungkan Energi Pada Batubara Berbahaya

Unveiling the Crisis of Plastic Pollution: Analyzing Its Profound Impact on the Environment

Pada tahun 2022, Indonesia membuat pernyataan yang mengguncang dunia energi dengan menyatakan niatnya untuk menghentikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara setelah tahun tersebut. Namun, seperti banyak yang kita saksikan dalam kebijakan energi, ada celah di dalamnya. Pembangkit yang sudah tercantum dalam rencana nasional dan yang melayani industri strategis, seperti smelter logam yang dijuluki sebagai pembangkit captive, tetap dikecualikan dari rencana penghentian ini. Sementara itu, di banyak negara, penutupan PLTU batubara sedang berlangsung secara masif dan rencana pembangunan baru dibatalkan, Indonesia mengambil langkah yang bertolak belakang dengan menambah kapasitas batubara, bahkan menjadi yang ketiga terbesar secara global pada tahun 2024.

Peningkatan kapasitas ini sebagian besar diakibatkan oleh kebutuhan energi yang terus melambung untuk smelter logam, yang mendukung ambisi Indonesia untuk menjadi pusat produksi kendaraan listrik dunia. Untuk mengatasi ketergantungan pada batubara, pemerintah merencanakan penerapan teknologi cofiring, yaitu pencampuran batubara dengan pelet kayu dan biomassa. Sejak menandatangani Perjanjian Paris pada tahun 2015, kapasitas batubara Indonesia telah melesat hingga 29 GW, menjadikannya negara dengan jumlah pembangkit batubara terbesar kelima di dunia dengan total kapasitas mencapai 54,7 GW.

Sebuah laporan tahunan berjudul “Boom and Bust Coal” menunjukkan bahwa di tahun lalu, pertumbuhan kapasitas batubara global justru mengalami titik terendah dalam dua dekade terakhir, dengan tambahan hanya 44 gigawatt—jauh di bawah rata-rata tahunan 72 GW dari periode 2004 hingga 2024. Sebagian besar penambahan ini terkonsentrasi di wilayah Sulawesi dan Maluku Utara, yang terkenal sebagai pusat pertambangan nikel dan lokasi smelter besar. Munculnya pembangkit baru ini berisiko merusak komitmen Indonesia untuk menghapus batubara sepenuhnya pada tahun 2050.

Sejak tahun 2019, kapasitas PLTU captive mengalami peningkatan tiga kali lipat dari 5,5 GW menjadi 16,6 GW, meliputi 130 pembangkit dengan kapasitas minimal 30 megawatt, dengan 21 pembangkit lainnya dalam tahap pengembangan menurut laporan dari Global Energy Monitor (GEM). Pemerintah Indonesia menonjolkan teknologi carbon capture and storage (CCS) sebagai solusi potensial, yang diharapkan mampu menangkap emisi CO₂ di lokasi pembangkit.

“Berkomitmen pada jalur penghentian batubara sambil memprioritaskan energi terbarukan akan membantu Indonesia menghadapi tantangan multi-aspek dalam beberapa dekade ke depan,” ketus Hasan, seorang analis terkemuka. Namun, di pulau Obi, di belakang sebuah sekolah, realitas menunjukkan bahwa pembangunan PLTU batubara terus berlanjut. Ini tentu menjadi ironi, mengingat pemerintah telah menyatakan komitmennya terhadap transisi energi dan penanganan perubahan iklim. Pertanyaan besar muncul: sampai kapan tekanan untuk melanjutkan pembangunan ini akan terus berlanjut?

Rencana penghentian batubara merupakan bagian dari Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia, yang disepakati pada tahun 2022 dengan beberapa negara industri yang berkomitmen membantu transisi energi. Namun, di tengah komitmen ini, Indonesia memiliki peluang nyata untuk beralih ke energi terbarukan yang lebih berkelanjutan dibandingkan bergantung pada batubara. Dody Setiawan, Analis Senior untuk iklim dan energi di Ember, mengingatkan bahwa semakin banyak negara yang menjauhi batubara, Indonesia berisiko terisolasi saat pasar dan investor beralih ke energi bersih.

Kenyataan mencengangkan pun terkuak: Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masih mendorong pembangunan PLTU baru pada tahun 2024. Mengejutkan, mengingat Indonesia adalah salah satu negara penandatangan Perjanjian Paris 2015 yang bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% pada tahun 2030. Kini, saatnya bagi Indonesia untuk membuktikan komitmennya dan menghadirkan keterjangkauan energi yang sesungguhnya, menjadikannya satu dari sedikit negara yang masih memperluas penggunaan batubara. Laporan dari organisasi nirlaba Global Energy Monitor menyatakan bahwa ini adalah bukti bahwa Indonesia berada di ambang kegagalan dalam transisi energinya.

Fokus Indonesia pada hilirisasi dalam pengolahan logam telah mempercepat ekspansi PLTU captive berbasis batubara, yang justru mempercepat penggunaan batubara di Indonesia. Dengan rencana pertumbuhan PLTU captive ini, yang sebagian besar berada di Sulawesi dan Maluku Utara, masyarakat sekitar akan menanggung konsekuensi kesehatan dan ekonomi terburuk akibat polusi dan partikel beracun. Keterangan dari Katherine Hasan di Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) memberikan gambaran buram tentang potensi bencana ini.

Namun, pengamat tetap skeptis terhadap langkah-langkah yang diusulkan oleh pemerintah, yang dianggap tidak efektif dalam mengurangi emisi. Indonesia berencana menambah kapasitas PLTU batubara sebesar 26,7 GW dalam tujuh tahun ke depan, dengan tiga perempat dari jumlah tersebut berupa PLTU captive, sebagaimana ditunjukkan dalam peta jalan kelistrikan nasional 2024–2060. Dengan alternatif yang diusulkan, risiko lebih besar justru mengancam keberlanjutan lingkungan. Teknologi cofiring biomasa berpotensi mempercepat deforestasi, sedangkan CCS masih menjadi solusi yang belum terbukti memadai.

Di sisi lain, dalam kalkulasi kapasitas batubara, Indonesia menambah 1,9 GW pada tahun 2024, menjadikannya yang tertinggi ketiga di dunia setelah Tiongkok dan India. Sekitar 80% dari kapasitas baru adalah dari PLTU captive, yang dibangun khusus untuk menghimpun energi bagi kawasan industri yang mengolah nikel, kobalt, dan aluminium, mendukung pasar kendaraan listrik yang berkembang pesat. Sementara itu, dampak lingkungan akibat kelangsungan ini mulai memperlihatkan banyaknya masalah. Tiga tahun pasca implementasi JETP, kemajuan untuk pensiun dini PLTU tetap sangat minim.

Proses transisi energi yang berkelanjutan sangat penting dan harus dilakukan secara tegas, tetapi dengan kebijakan yang berlaku saat ini, Indonesia tampaknya berjalan di jalur yang salah. Apakah mungkin Indonesia mampu membalikkan keadaan dan membangun masa depan energi yang bersih dan lebih baik? Saatnya bagi semua pemangku kepentingan untuk menanggapi tantangan ini dan mengambil langkah nyata menuju keberlanjutan.

Type above and press Enter to search.