Demokrasi Illiberal Jokowi Menghancurkan Suara Rakyat

Unveiling the Crisis of Plastic Pollution: Analyzing Its Profound Impact on the Environment

Periode kedua kepemimpinan Jokowi menjadi babak baru yang kelam bagi demokrasi di Indonesia. Kita tidak hanya menyaksikan lembaga-lembaga demokrasi yang semakin lemah, tetapi juga pola sistematik yang mengkhawatirkan dalam pengesahan Undang-Undang yang penuh masalah, baik dari segi prosedur maupun substansi. Fenomena tersebut sejalan dengan istilah yang dikhaskan oleh ilmuwan politik terkenal, Fareed Zakaria, yaitu “illiberal democracy”. Ini adalah sebuah situasi di mana pemilu masih berlangsung, namun nilai-nilai dasar yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, seperti kebebasan sipil, hak asasi manusia, dan transparansi, diabaikan begitu saja.

Setelah deru aksi besar “Reformasi Dikorupsi” pada tahun 2019, daya juang masyarakat sipil seolah kembali dipukul mundur oleh pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang sarat dengan pasal-pasal bermasalah. Di tengah polemik ini, aktivis lingkungan tertekan, masyarakat adat kehilangan tanah mereka demi kepentingan proyek infrastruktur, dan suara-suara kritis di media sosial terbungkam dengan penggunaan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Belum sempat rakyat meredakan ekses dari RUU KUHP, pemerintah dengan berani kembali meluncurkan Undang-Undang Cipta Kerja, dikenal juga sebagai Omnibus Law, yang menimbulkan kegaduhan tiada henti. Di sini, kita dapat melihat bukan hanya polaritas yang merusak kohesi sosial masyarakat, tetapi juga bagaimana kekuasaan mulai menunjukkan taringnya dengan sangat nyata.

Penting untuk dicatat bahwa revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjadi titik awal yang memicu krisis kepercayaan masyarakat terhadap komitmen negara dalam menegakkan demokrasi dan memberantas korupsi. Gelombang legislasi yang kontroversial terus mengalir, seakan tidak peduli dengan jeritan rakyat, suara-suara dari kampus, jalanan, dan ruang digital.

Dengan dalih meningkatkan kemudahan investasi dan menciptakan lapangan kerja, Undang-Undang ini justru menggagalkan nasib para buruh dan merusak lingkungan. Hal ini menunjukkan pembalikan yang telak terhadap harapan masyarakat untuk menerima regulasi yang adil dan berpihak. Dalam situasi ini, sejumlah RUU lainnya yang juga sangat penting terancam ditentang oleh aktivis yang berjuang untuk keadilan dan keberlanjutan.

Tentunya bukan hanya masalah penegakan hukum yang ditangani secara sembrono, tetapi juga bagaimana sosialisasi dan keterlibatan publik dimarginalkan. Perdebatan di media sosial seakan dipatahkan dengan intimidasi dan ancaman hukum yang terus meningkat. Rakyat seakan dipaksa menerima semua keputusan yang diambil tanpa ada ruang untuk berargumen, meskipun hak konstitusi mereka menjamin kebebasan tersebut.

Bagaimana bisa kita meneruskan kebangkitan demokrasi ketika legislasi yang tidak transparan melanda, dan di sisi lain, aspirasi masyarakat yang progresif dipaku? Nasib Indonesia sebagai negara demokratis beresiko jika situasi ini terus berlanjut. Perubahan yang diantisipasi seakan hilang ditelan janji-janji kosong dan tindakan yang mencerminkan kepentingan segelintir orang.

Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa resistensi terhadap kebijakan semacam ini semakin marak di kalangan generasi muda. Banyak yang semakin sadar akan perlunya perubahan sistemik yang berkelanjutan. Mereka berjuang melalui berbagai cara mulai dari aksi demonstrasi, penulisan artikel, hingga kampanye di media sosial untuk menyampaikan suara mereka. Tanpa diragukan, suara-suara ini adalah sinyal penting bagi masa depan demokrasi kita.

Ketika pihak berwenang memandang remeh peran masyarakat sipil, mereka harus siap berhadapan dengan gelombang protes yang semakin besar. Banyak aktivis lingkungan, pekerja, dan masyarakat adat telah bersatu, menuntut diakhirinya kebijakan yang merugikan mereka. Ini adalah konteks perjuangan yang tidak bisa dianggap remeh; gerakan ini bukan sekadar reaksi, tetapi juga manifestasi perjuangan kolektif untuk masa depan yang lebih baik.

Dalam kaca mata akademis, semua aktor — baik pemerintah maupun masyarakat — perlu menempatkan kepentingan bersama di atas segalanya. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak-hak warganya dan tidak hanya bertindak sebagai alat bagi kepentingan segelintir elit. Sudah saatnya untuk meninjau kebijakan yang ada dan menarik kembali semua Undang-Undang yang berpotensi merusak tatanan sosial dan lingkungan yang telah dibangun dengan susah payah.

Dengan setiap langkah mundur dalam penegakan demokrasi, ada pelajaran berharga yang harus kita ambil. Perjuangan tidak akan pernah berhenti, dan harkat serta martabat setiap individu pasti akan selalu diperjuangkan. Kesadaran serta solidaritas menjadi kunci utama untuk membangun kembali demokrasi yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Mari kita ambil bagian dalam perjuangan ini, karena masa depan bangsa ada di tangan kita.

Type above and press Enter to search.