SAREKAT RAKYAT.COM- Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mencoba meredam kecemasan publik. Ia menyatakan bahwa tambang nikel PT GAG Nikel berlokasi di Pulau Gag, bukan di kawasan wisata Piaynemo seperti yang ramai diberitakan. “Jaraknya 30-40 kilometer dari Piaynemo,” kata Bahlil. Tapi publik bertanya: apa benar jarak bisa jadi pembenaran, ketika kerusakan lingkungan tak mengenal batas administratif?


Pulau Gag mungkin jauh dari lensa turis, tapi tidak jauh dari sistem ekologi Raja Ampat yang saling terhubung. Di darat, lebih dari 500 hektare hutan telah rusak. Di laut, limpasan tanah dari tambang mengancam terumbu karang sumber kehidupan warga dan daya tarik utama ekowisata. Greenpeace mengingatkan: kerusakan serupa telah terjadi di Halmahera dan Kabaena, dan kini mulai menjalar ke Raja Ampat. Jika tak ditangani, Raja Ampat bisa kehilangan statusnya sebagai surga laut dunia, bukan karena bencana alam, tetapi karena keputusan manusia.


Lebih mengkhawatirkan, proyek tambang ini menargetkan lima pulau kecil di antaranya Pulau Gag, Kawe, Manuran, Batang Pele, dan Manyaifun yang menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 semestinya dilindungi. Tapi kenyataannya, regulasi kerap dilanggar saat tambang mulai masuk. Wajah Raja Ampat perlahan berubah: dari ikon konservasi menjadi tapak kaki industri ekstraktif.


Aliansi Jaga Alam Raja Ampat menyebut situasi ini sebagai “pengkhianatan terhadap janji perlindungan lingkungan.” Menurut koordinatornya, Yoppy L. Mambrasar, penolakan warga bukan karena anti pembangunan, melainkan karena pembangunan yang berjalan tanpa keadilan dan partisipasi. “Kami tidak bisa diam ketika tambang merangsek masuk ke tanah-tanah adat dan kawasan pesisir yang rapuh,” ujarnya.


Menteri Bahlil menyatakan bahwa aktivitas tambang dihentikan sementara untuk verifikasi lapangan. Ia juga menegaskan bahwa izin tambang diterbitkan sebelum ia menjabat, dan akan memastikan pengawasan ketat sesuai prinsip good mining practice. Tapi pertanyaan publik tetap menggantung: Jika izin lama menjadi alasan, lalu siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan hari ini?


Kita patut bertanya lebih jauh: mengapa pulau-pulau kecil yang selama ini menjadi benteng keanekaragaman hayati justru dikorbankan atas nama “transisi energi”? Apakah transisi ini benar-benar hijau, atau hanya mengganti warna dari eksploitasi lama?


Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau, ia adalah ekosistem hidup, warisan budaya, dan rumah bagi ribuan jiwa. Jangan biarkan tambang merampas masa depan hanya karena kita terlambat menyadari bahwa alam tidak bisa ditambal begitu saja. Jarak tambang boleh jauh dari Piaynemo, tapi dampaknya jelas sudah dekat sangat dekat. (SR/NA)


Sumber, Tempo.co, “(Bahlil Soal Tambang Nikel di Raja Ampat: Cukup jauh dari Piaynemo)”; Detikfinance, “(Bahlil Ungkap Jarak Lokasi Tambang Nikel dan Pulau Wisata Raja Ampat 30-40 Km)”

Share this article
The link has been copied!