Golkar Khawatir Sekolah Gratis Berbasis NU dan Muhammadiyah

Unveiling the Crisis of Plastic Pollution: Analyzing Its Profound Impact on the Environment

Di tengah sorotan tajam mengenai partisipasi masyarakat dalam pendidikan, pernyataan Sarmuji, Sekretaris Jenderal Partai Golkar, menjadi cukup mencolok. Ia menyampaikan di media center Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) bahwa kehadiran masyarakat memiliki peranan yang krusial dalam sistem pendidikan kita. Pernyataan tersebut terdengar lebih dari sekadar retorika—melainkan sebuah peringatan atas kemungkinan dampak negatif pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi sorotan utama saat ini.

“Misalkan, organisasi-organisasi besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang telah berdiri kokoh dengan koleksi lembaga pendidikan yang tak terhitung jumlahnya. Jika keputusan MK, yang menyatakan bahwa pendidikan wajib belajar sembilan tahun harus digratiskan, bersifat imperatif—ini seperti memberi tiket gratis pada konser yang sedang ramai, tetapi panitia tidak siap menghadapinya,” ucapnya. Nyatanya, terbayang sebuah kekhawatiran besar; apa jadinya jika negara tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut?

Mahkamah Konstitusi baru saja mengeluarkan perintah yang menuntut agar pendidikan wajib belajar sembilan tahun di sekolah negeri maupun swasta dibebaskan dari biaya. Namun, di balik keputusan ini terdapat sebuah keprihatinan mendalam, yaitu apakah berkurangnya kontribusi masyarakat dalam pendidikan adalah harga yang harus dibayar? Mengapa sebuah putusan yang terlihat baik justru menjadi ancaman bagi semangat partisipasi masyarakat?

Sarmuji kembali menekankan, “Yang paling mencemaskan adalah apakah keputusan ini justru akan mengekang semangat masyarakat untuk berperan dalam pendidikan. Ini menjadi dilema tersendiri.” Ia memperdalam analisanya dengan merujuk pada gugatan yang telah diakui oleh MK mengenai Undang-Undang (UU) Nomor 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Segera mengalir, pertanyaan mendalam tentang komitmen pemerintah dalam mendukung pendidikan melalui partisipasi masyarakat.

Apa yang mungkin tidak disadari oleh banyak orang adalah adanya mantra berbahaya di balik niat baik. Dengan menganggap pemerintah akan bertindak atas dasar putusan hukum, rasa optimis bisa tergerus, dan menimbulkan keraguan apakah negara benar-benar siap untuk menanggung beban finansial dari pendidikan gratis tersebut. Dan di sinilah letak masalahnya; ketika harapan akan pendidikan yang lebih baik diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah,Partisanship dalam pendidikan justru terancam memudar.

Dalam situasi ini, Sarmuji menyoroti pentingnya lembaga-lembaga pendidikan yang telah lama berkontribusi, seperti Muhammadiyah dan NU. Ini bukan hanya sekadar lembaga pendidikan, tetapi sebuah simbol harapan dan partisipasi masyarakat dalam menciptakan generasi masa depan. Ketika kita melihat permohonan yang diajukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia berserta pemohon individu, kita harus bertanya: siapa yang akan mengambil tindakan jika putusan itu tidak memuaskan?

Sekali lagi, Sarmuji menekankan, “Pemerintah seharusnya tidak hanya terfokus pada keputusan hukum, tetapi juga mestinya lebih mencermati realitas di lapangan.” Harapan akan tanggung jawab penuh dari pihak pemerintah kini tergantung pada seberapa keras mereka berjuang untuk memenuhi keinginan masyarakat dan lembaga pendidikan yang telah ada. Dan tampaknya, MK juga memiliki beban tanggung jawab yang sama dalam menciptakan solusi nyata.

Saat Ketua MK, Suhartoyo, mengumumkan bahwa Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, ia sebenarnya menggarisbawahi tantangan besar—adakah niat baik yang baik dapat dikelola tanpa merugikan pihak manapun?

Ketetapan hukum ini bukanlah sekadar sebuah keputusan, tetapi lebih pada refleksi dari kebutuhan mendalam akan keadilan dalam pendidikan. Apakah kita ingin pendidikan benar-benar menjadi milik semua lapisan masyarakat, ataukah kita lebih suka melihat pemerintah, sekali lagi, tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya?

Pengelolaan pendidikan yang berkelanjutan seharusnya melibatkan serangkaian dialog antara pemerintah dan masyarakat. Di sinilah letak keinginan untuk mewujudkan angan-angan pendidikan yang inklusif, di mana semua pihak terlibat dan mendapatkan haknya. Mari kita luangkan waktu sejenak untuk merenungkan, apakah kita sedang bernegosiasi untuk masa depan yang lebih baik, atau hanya menatap kosong ke dalam jurang keputusan yang akan mempengaruhi generasi mendatang?

Dalam konteks ini, peran masyarakat dalam mendidik generasi penerus menjadi semakin vital. Itu sebabnya, Sarmuji menekankan bahwa keputusan MK seharusnya tidak menjadi penghalang bagi partisipasi aktif ormas dalam dunia pendidikan. Sebaliknya, ini harusnya menjadi katalisator untuk memicu inovasi dan kontribusi lebih lanjut dari semua elemen sosial. Apakah Anda, sebagai bagian dari masyarakat, sudah siap mengambil peran dalam pendidikan kita?

Merawat pendidikan di tengah tantangan adalah tugas yang tidak bisa dipandang sepele. Kita mesti bersatu dalam menghadapi tantangan, bermitra dengan pemerintah, dan mendorong realisasi hak pendidikan yang diinginkan. Mari kita berjuang untuk menjadikan setiap anak bangsa mendapatkan pendidikan yang layak, bukan hanya di atas kertas, tetapi dalam praktik yang nyata.

Type above and press Enter to search.