SAREKATRAKYAT.COM- Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia telah dimulai sejak awal tahun 2025 dan ditargetkan rampung sebelum peringatan HUT RI ke 80 pada 17 agustus mendatang. Proyek ini bertujuan untuk merivisi narasi sejarah nasional yang dinilai masih bias kolonial, agar lebih utuh, inklusif dan relevan dengan perkembangan zaman.

Sebanyak 120 sejarawan dari berbagai latar belakang keilmuan dilibatkan dalam penyusunan ini, yang ditargetkan menghasilkan 20 buku sejarah dari masa awal Indonesia hingga pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Namun, meski berangkat dari niat baik, proyek ini menuai kekhawatiran. Sejumlah kalangan bukan hanya menyoroti isi sejarahnya, melainkan proses politik yang menyertainya. Penulisan sejarah oleh pemerintah dinilai rawan intervensi dan berpotensi digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan, terlebih jika diberi label ”sejarah resmi.”

Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), yang terdiri dari sejarawan dan aktivus, menyatukan penolakan terhadap proyek ini. Mereka merilis empat manifesto, antara lain bahwa sejarah adalah milik rakyat, bukan milik negara. Negara, menurut mereka seharusnya menjamin hak masyarkaat terutama yang mengalami ketidakadilan untuk mengingat, berbicara dan menuliskan sejarah kolektifnya sendiri.

Pemerintah harusnya bersikap hati-hati karena sejarah yang dibuat oleh negara kerap kali berubah menjadi ideologi. Kita pernah mengalami hal serupa pada masa Orde Baru. Di awal kekuasaanya presiden Soeharto menunjuk Jendral Nugroho Notosusanto untuk menyusun narasi sejarah nasional yang dipakai selama 32 tahun. Kondisi saat ini mengingatkan kita pada masa itu, bisa jadi ini bukan hanya penulisan sejarah, tapi sejarah yang berulang.

Seperti ungkapan Sejarawan, Marzuki bahwa hanya negara dengan sistem represif yang cenderung mengendalikan narasi sejarah secara ketat. Kekhawatiran ini bukan sekedar prasangka. Kita punya cukup banyak pelajaran dari masa lalu.

Penyusunan sejarah yang terburu-buru memberi kesan ada sesuatu yang disembunyikan. Langkah Top Down yang dilakukan pemerintah dengan memberi rancangan outline yang seharusnya dibuat oleh para akademisi dan tim penyusunnya menunjukan langkah intervensi langsung yang dilakukan pemerintah. Menurut Bonni Triyana ”Sejak awal memang ruang kebebasan para penulis dibatasi. Belum lagi draf dan isu yang beredar di masyarakat terkesan kontroversial”.

Risiko lain yang akan dihadapi bila masih menggunakan istilah ‘sejarah resmi’ adalah munculnya tafsir tunggal. Penulisan sejarah oleh negara berpotensi menyingkirkan narasi alternatif yang dianggap tidak sah. Padahal, sejarah seharusnya disusun  secara komprehensif dengan memahami keberagaman peristiwa dan perspektif. Proyek ini justru tidak transparan, terutama karena kementrian Kebudayaan tidak membuka proses secara jelas ke publik.

Seperti pernyataan Asvi Warman Adam bahwa kita perlu mempertanyakan urgensi proyek ini. kekhawatiran publik bukan tanpa alasan, penulisan sejarah oleh rezim yang berkuasa rentan menjadi alat untuk mengaburkan fakta dan menghapus jejak kekuasaan yang problematis.

Penulisan sejarah yang tidak berpijak pada transparansi dapat menjadi instrumen indoktrinasi. Alih-alih menjadi catatan kritis bangsa, sejarah justru dapat berubah menjadi imajinasi politik yang dikonstruksi demi kepentingan penguasa.

Sejarah, pada akhirnya, bukan sekadar rangkaian fakta, tetapi juga medan pertarungan makna. Dalam konteks ini, pemerintah dituntut untuk tidak hanya menyusun ulang sejarah, tetapi juga membuka ruang dialog, transparansi, dan partisipasi publik secara luas. (SR/Rizal)

 

Sumber: Kompas.com, History.id

Share this article
The link has been copied!