SarekatRakyat.Com Proyek penulisan ulang sejarahnasional terus memicu kontroversi. Kurangnyatransparansi dari pihak pemerintah menunjukan bahwa proses penulisan sejarahini mengandung muatan politis. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apa sebenarnyaurgensi penulisan ulang sejarah hingga pemerintah merasa perlu untukmempercepat prosesnya dalam waktu singkat?

Belakangan, muncul klaim mengenai sejarah ”resmi” digunakan, maka ada potensibesar terjadinya tafsir tunggal atas sejarah. Terlebih jika disertai narasibahwa sejarah di luar versi pemerintah dianggap palsu atau ilegal. Padahal,penyusunan sejarah seharusnya didasarkan pada pemahaman yang komprehensifterhadap suatu peristiwa. Jika hanya terpaku satu versi, akan terjadi fragmentasisejarah: bagian-bagian penting bisa hilang atau terpinggirkan.

Dalam sebuah Podcast Asvi WarmanAdam merespons pernyataan mengenai istilah “sejarah resmi” tersebut:

“Pertama, saya ingin membericatatan terkait konsep yang dibuat oleh tim kementerian kebudayaan yangmenyebut sejarah resmi. Menurut saya, istilah itu tidak tepat, karena sejarahresmi berbeda dengan sejarah standar. Pada masa Orde Baru, Sekretariat Negaramemang pernah membuat sejarah resmi, contohnya buku Pemberontakan PKI danRisalah Sidang BPUPKI dan PPKI. Sementara itu, Sejarah Nasional Indonesia (SNI)yang disusun oleh Nugorho Notosusanto merupakan sejarah standar- yakni pegangan untukpenulisan teks di sekolah.”

Sejarah yang sedang ditulis saatini adalah handbook atau buku pegangan untuk sekolah. Namun, sangatdisayangkan bahwa para guru tidak dilibatkan dalam penyusunannya. Pembuatan bukusejarah ini cenderung sarat muatan politis, apalagi drafnya belum tersedia danbaru akan diakses pada bulan Agustus. Ini bermasalah, karena setiap rezim kerapmenulis sejarah untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya.

Konsep dasar dari penulisan sejarah harus kuat dan tidak mengabaikanperjuangan seluruh lapisan bangsa. Sejarah seharusnya memihak pada semuakalangan. Misalnya, ketika menulis sumpah pemuda, kita tidak boleh melupakanperan Kongres Perempuan. Pemberontakan-pemberontakan juga perlu dicatat. Sayangnyadalam draf outline banyak hal penting justru dihilangkan.

Asvi memandang penulisan sejarahtidak boleh menghilangkan fragmen-fragmen penting dalam perjalanan bangsa. Komunikasiantara tim penulis dan pihak terkait harus berjalan lancar sejak awal, dan drafyang disusun harus utuh serta tidak memihak.

”Kita harus menghapus kesan bahwa penulisan sejarah hanya bertujuan untukmelegitimasi kekuasaan. Penulisan harus objektif dan menyeluruh, tanpa tebang pilih.Contohnya, Presiden Jokowi pada Januari 2023 mengakui adanya 12 pelanggaran HAMberat yang diselesaikan oleh negara. Fakta ini seharusnya masuk dalam penulisansejarah” Ujarnya.

Asvi juga menyoroti pentingnya keterbukaan terhadap masukan dari berbagaipihak, niat memperbaiki jelas berbeda dengan mencari legitimasi. Jika inginmemperbaiki sejarah, maka seluruh unsur dan fakta-fakta sejarah juga harusdimunculkan dalam penulisannya. Tujuan penulisan ini adalah untuk dunia pendidikandalam membentuk kesadaran. Kesadaran itu tidak akan terbentuk jika pelajarterus dicekoki dengan sejarah yang penuh kepalsuan dan kebohongan.

”Jika kita ingin memperbaiki sejarah secara objektif, maka semua orangharus dilibatkan. Misalnya, terkait peristiwa PKI 1965, sudah banyak buku yangterbit pasca reformasi. Jika buku sejarah yang baru tidak mencerminkanperkembangan ini, berarti penulis tidak menyusun sejarah secara objektif.”

Pernyataan Asvi tersebut, secara tegas menekankan bahwa penulisan ulangsejarah harus bebas dari intervensi politik. Sejarah tidak boleh dikerdilkanmenjadi alat kekuasaan yang menyingkirkan fakta-fakta yang telah berkembangsebelumnya.

Harapannya, sejara ditulis secara objektif, tanpa menutupi atau mengaburkanperistiwa yang sebenarnya terjadi. Apa yang disampaikan oleh Asvi Warman Adampatut menjadi bahan renungan bagi pemerintah dan tim penyusun, agar sejarahyang dihasilkan mampu memberikan pemahaman utuh dan positif bagi duniapendidikan serta generasi mendatang.

Sumber: Podcast Inspirasi Untuk Bangsa

Share this article
The link has been copied!