SAREKAT RAKYAT.COM - Raja Ampat, wilayah yang dikenal sebagai “surga terakhir di Bumi”, kini menghadapi ancaman serius akibat ekspansi industri tambang nikel. Kawasan yang menyimpan 75 persen spesies karang dunia dan ribuan spesies laut serta darat itu tengah dibidik untuk eksploitasi sumber daya mineral yang dinilai penting bagi transisi energi global.

Pertambangan dan hilirisasi nikel yang masif sejak era Jokowi kini dilanjutkan oleh pemerintahan Prabowo, cuma membawa derita bagi masyarakat terdampak di Sulawesi dan Maluku. Hutan dibabat. sumber air, sungai, dan laut tercemar. Lingkungan rusak. Hak-hak masyarakat terampas.

Beberapa pulau kecil di Raja Ampat seperti Gag, Kawe, dan Manuran dilaporkan mulai mengalami kerusakan ekosistem akibat aktivitas pertambangan. Greenpeace Indonesia memperingatkan bahwa proyek hilirisasi nikel yang selama ini digadang-gadang pemerintah sebagai jalan menuju industrialisasi justru meninggalkan jejak kerusakan lingkungan dan penderitaan sosial di banyak daerah, termasuk kini di Papua Barat Daya.

Dalam Konferensi Indonesia Critical Minerals 2025 (ICMCE) yang dihadiri perwakilan lebih dari 30 negara dan ratusan pelaku industri tambang, Greenpeace menyampaikan protes langsung. Di hadapan Wakil Menteri Luar Negeri Arief Havas Oegroseno, Greenpeace mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai abai terhadap dampak ekologis dan sosial dari proyek nikel yang masif.

Menurut Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, “Industrialisasi nikel telah menghancurkan hutan, tanah, sungai, dan laut di berbagai daerah—dari Morowali, Konawe Utara, Wawonii, hingga Obi. Kini, ancaman serupa menghampiri Raja Ampat yang memiliki biodiversitas laut tertinggi di dunia.”

Greenpeace menyoroti bahwa pemberian izin tambang di pulau-pulau kecil seperti yang terjadi di Raja Ampat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara tegas melarang aktivitas tambang di pulau kecil.

Masyarakat adat di Raja Ampat, termasuksuku Betew dan Maya, secara tegas menolak kehadiran tambang nikel di wilayahmereka. Mereka menilai bahwa aktivitas pertambangantidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam kelangsungan hidup danbudaya mereka yang telah terjaga selama berabad-abad.

Sementara pemerintah terus mempromosikan nikel sebagai komoditas strategis untuk era kendaraan listrik, berbagai laporan menunjukkan kerusakan lingkungan terus meluas di kawasan-kawasan tambang seperti Wawonii, Kabaena, dan Halmahera. Alih-alih menyokong transisi energi yang bersih, eksploitasi nikel justru memperparah krisis ekologis. (SR/ASM)


Sumber:

·      Greenpeace.org, Kritik Industrialisasi Nikel,Aktivis Greenpeace Gelar Aksi di Konferensi Nikel Internasional di Jakarta.

·      Binus.ac.id, Dampak Penambangan Nikel terhadapEkosistem Laut Raja Ampat: Ancaman bagi Keanekaragaman Hayati dan Masyarakat Lokal.

·      Republika.co.id, Komite DPP RI Respons KeluhanWarga Raja Ampat Soal Tambang.

Share this article
The link has been copied!