SAREKATRAKYAT.COM- Di tengah hiruk-pikuk kegelisahan jutaan rakyat Indonesia yang terjepit dalam tekanan ekonomi dan sulitnya mencari pekerjaan yang layak, pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengundang gelombang kritik. Dalam Human Capital Summit 2025 yang digelar di JCC Senayan, Bahlil menyatakan bahwa Indonesia tidak kekurangan lapangan kerja. Bahkan, ia menyebut bahwa mereka yang mengeluhkan kesulitan mencari kerja seolah tengah “kufur nikmat”. Sebuah ungkapan yang sontak memantik pertanyaan mendasar: apakah kekuasaan kini telah kehilangan daya rasanya atas penderitaan rakyat?

Dengan nada penuh keyakinan, Bahlil menyebut bahwa pemerintah sedang membuka peluang besar di sektor lifting migas dan hilirisasi industri yang konon akan menyerap hingga 6,2 juta tenaga kerja sampai 2030. Ia mendorong masyarakat untuk introspeksi, meningkatkan kualitas diri, dan berhenti mengeluh. Ia bahkan menyindir perguruan tinggi yang menurutnya gagal menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan industri. Di balik kata-kata motivasional tersebut, tersembunyi paradoks yang membayang: seolah-olah seluruh beban penciptaan kerja dilemparkan kembali kepada rakyat yang dituntut untuk bersyukur, berbenah, dan tidak menyalahkan keadaan.

Namun kenyataan sosial justru berkata lain. Data dari IMF menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi ketiga di Asia, setelah Pakistan dan Cina, dengan tingkat pengangguran sebesar 5 persen. BPS mencatat bahwa pada Februari 2025, jumlah pengangguran meningkat menjadi 7,28 juta orang, dengan lonjakan angkatan kerja yang belum seluruhnya terserap. Bahkan menurut Bright Institute, meski Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja naik tipis menjadi 101,6 pada April 2025, posisi itu masih rendah secara historis. Angka optimisme pun mulai goyah, terlihat dari menurunnya Indeks Ekspektasi Ketersediaan Kerja sejak Maret lalu.

Lebih jauh, catatan Migrant Watch menggarisbawahi bahwa dari 2023 hingga 2025, antrean panjang pencari kerja masih menjadi pemandangan harian dari kota hingga pelosok. Rakyat rela berdiri sejak fajar, berebut formulir, dan berebut posisi yang kian sempit bahkan di tengah pameran kerja atau lowongan di kantor pos. Insiden pingsan dan kericuhan di job fair menjadi bukti betapa situasi kerja di Indonesia sedang dalam kondisi darurat. Ini bukan dongeng, bukan narasi fiktif. Ini realitas yang bahkan bisa dilihat langsung tanpa perlu riset akademik.

Dalam konteks ini, tudingan “kufur nikmat” bukan hanya tidak etis, tapi menyakitkan secara moral dan politis. Alih-alih menyentuh persoalan struktural yang kompleks, pernyataan Bahlil justru mereduksi kegelisahan rakyat menjadi urusan moral individu seakan rakyat kurang bersyukur, bukan karena sistemnya yang timpang. Ini adalah bentuk pelecehan terhadap penderitaan sosial, dan bukti bagaimana elite bisa teralienasi dari denyut realitas.

Padahal, seperti dikemukakan oleh data ketenagakerjaan lain, persoalan tidak berhenti pada pengangguran terbuka. Sebanyak 60 persen tenaga kerja berada di sektor informal tanpa jaminan sosial, tanpa kepastian pendapatan. Pengangguran terselubung, setengah pengangguran, dan pekerja muda dalam status NEET (Not in Employment, Education or Training) menyentuh angka 10 juta orang. Kelompok perempuan, lulusan SMK, warga pedesaan semuanya menghadapi dinding tinggi yang membatasi akses terhadap pekerjaan yang layak.

Janji 6,2 juta lapangan kerja di sektor energi pun, ketika dilihat secara teliti, hanya menutupi sekitar 29 persen dari total kebutuhan kerja nasional hingga 2030. Sisanya masih berupa tanda tanya besar, apakah akan benar-benar terwujud atau sekadar bagian dari narasi politik pembangunan.

Sementara itu, kenyataan di lapangan terus berbicara: gelombang PHK terus berlangsung di kawasan industri besar. Proyek-proyek strategis seperti IMIP Morowali dan Smelter Freeport Gresik justru lebih banyak menyerap tenaga kerja asing ketimbang tenaga kerja lokal. Pekerja domestik tersingkir ke lapisan buruh kasar, bekerja di bawah kontrak eksploitatif, dan minim perlindungan.

Lalu siapa yang sebenarnya “kufur”? Rakyat yang bersuara tentang kesulitan hidupnya? Atau pemerintah yang menyangkal krisis nyata dan menutupi kelalaian kebijakan dengan retorika “bersyukur”? Alih-alih menjadi penyambung lidah rakyat, sebagian elite kini justru lebih piawai menyampaikan ceramah moral yang merendahkan.

Ketika seorang pejabat kehilangan sensitivitas sosial, ia juga kehilangan legitimasi moral untuk berbicara atas nama rakyat. Lebih dari itu, ia menciptakan jurang psikologis yang makin dalam antara rakyat dan kekuasaan. Dalam suasana ketimpangan ekonomi yang akut, kritik terhadap pemerintah bukanlah bentuk pembangkangan. Itu adalah tanda bahwa harapan masih hidup. Tapi harapan itu hanya bisa tumbuh jika pemimpin berani turun ke bumi, melihat kenyataan dengan mata terbuka, dan mendengar suara rakyat tanpa prasangka.

Pemerintah tidak hanya dituntut untuk membangun proyeksi dan target. Ia harus membangun keberpihakan dan empati. Karena rakyat tidak sedang “kufur nikmat” mereka sedang berteriak agar negara tidak “kufur realitas”. (SR/NA)

Sumber : Tempo.co, “(Bahlil Tanggapi Keluhan Minimnya Lapangan Kerja: Jangan Kufur Nikmat); Kompas. com, “(Kufur Nikmat Pencari Kerja: Hilangnya Sensivitas Pejabat atas Realitas Sosial)”; "CNN Indonesia, “(Bahlil soal Keluhan Tak Ada Lapangan Kerja: Jangan Kufur Nikmat)”.

 

Share this article
The link has been copied!